Menjadi produser film iklan di jaman sekarang ini ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Saat semakin banyak orang berkeinginan menjadi produser karena sebagai sebuah jabatan ia terdengar "keren" dan "berkuasa", tanpa tahu bahwa profesi ini punya tantangannya tersendiri.
Seorang produser haruslah juga manajer kompeten, sekaligus seorang "
juggler" sebuah sirkus bernama produksi. Belakangan ini seorang produser tidak hanya dituntut untuk menjadi manajer atau juggler, tapi juga tukang sulap. Semua mata menatap "sang manusia super" yang namanya Produser PH. Lucunya, bukan hanya tim produksi PH yang beranggapan begini, tapi klien dan agensi juga. Semua masalah harus bisa diselesaikan oleh Produser PH. Bagaimana caranya kalau klien baru
approve konsep hari ini, butuh iklan
on-air 2 minggu mendatang, ingin
post di luar negeri bersama 4 orang tim marketing, kerja dengan sutradara bule, pakai talent mukanya
pan-Asian dengan
budget 300 juta including PPh? Oh, jangan lupa ada "titipan" 20 juta ya...
Sebagai yang punya duit, klien sering punya anggaran dan harapan yang tidak sejalan. Sudah begitu seingkali menunda pengambilan keputusan yang mengakibatkan jadwal produksi morat marit. Ujung-ujungnya duit lagi. Karena terbatasnya waktu, banyak kompromi harus dilaksanakan dan mau tidak mau akhirnya kualitas gambar menjadi korban. Daya tarik sebuah film 30 detik menjadi berkurang karena tidak cukup waktu dihabiskan untuk membuat film itu menarik perhatian pemirsa sehingga akhirnya iklan itu terlupakan begitu saja. Tanggung jawab sepenuhnya dilimpahkan kepada sutradara dan PH. Klien dan agensi sering lupa bahwa proses ini merupakan sebuah kerja tim, dan waktu yang terbuang karena klien tidak bisa mengambil keputusan bisa membuat iklan yang mestinya indah dan punya daya jual tinggi menjadi biasa-biasa saja dan terlupakan setelah tayang seminggu.
Masih berhubungan dengan duit, belakangan ini sering ditemui klien yang "menawar" biaya produksi seakan produksi ratusan juta rupiah itu bisa ditawar seperti kacang goreng. Agak menyedihkan sebenarnya saat klien (yang perusahaannya bernilai "M-M-an") melihat biaya produksi dan mempertanyakan apakah katering 50,000/orang tidak kemahalan; atau apakah shooting dengan 50 kru tidak kebanyakan.
Mungkin yang perlu dikaji ulang adalah paradigma staf
marketing,
brand image and departemen apalah itu dari para klien. Kampanye marketing pada dasarnya memang MAHAL. Nilai dan makna proses tersebut bukan sekadar biaya produksi sebuah iklan 30 detik, belanja media spot, biaya pemotretan iklan cetak versus. peningkatan hasil penjualan. Mengapa NIKE sebagai sebuah merek bisa sukses seperti sekarang ini? Mengapa mereka menghabiskan jutaan dolar hanya untuk sebuah iklan? Karena mereka menyadari pentingnya komunikasi kepada konsumen dan mereka ingin berkomunikasi dengan efektif dalam jangka waktu panjang, bukan seminggu atau sebulan. Dan sebuah pekerjaan diberikan kepada mereka (PH, Agensi) yang bisa melaksanakannya dengan baik, bukan karena mereka bisa menghemat biaya
marketing.
Seringkali dalam rangka efisiensi biaya, mereka lupa akan rencana dan tujuan kampanye itu sendiri. Agensi mestinya juga bisa terlibat dalam proses ini, dengan selalu kembali pada
brief awal sebuah kampanye. Tanpa sadar penghematan beberapa puluh juta berakibat gagalnya sebuah kampanye, yang tentu saja bernilai ratusan kali lipat.
Mudah-mudahan ini tidak dilihat sebagai keluhan seorang produser yang sekadar ingin tambah biaya produksi. Tapi lebih pada keinginan agar setiap proses (apalagi yang berhubungan dengan biaya) mendapat pemikiran matang dari semua pihak yang terlibat. Jangan kebanggaan menghemat biaya sesaat, malah menyia-nyiakan "The Big Plan".