Monday, August 13, 2007

1-800-788743

DICARI:
  • Production House kaya raya yang sanggup memproduksi sebuah film iklan 30 second tanpa pembayaran 50% pertama sebelum klien membayar agency.
  • Production House yang menanggung fee agency producer dalam production budget.
  • Production House yang bersedia menawarkan harga terendah untuk sebuah film iklan 30 second.
  • Production House yang memberikan per diem bagi setiap anggota tim Agency termasuk yang tidak ikut berangkat ke luar negeri.
  • Production House yang menyediakan wardrobe bermerek sebagai alternative wardrobe talent untuk kemudian diminta oleh agency/client.
Bagi yang berminat silakan hubungi Mr. Sha Me Less di 1-800-STUPID


Sunday, August 12, 2007

Asosiasi PH

Setelah sekian lama menanti, akhirnya Indonesia punya juga asosiasi- asosiasi-an di dunia produksi film iklan. Saya bilang asosiasi-asosiasi-an karena bentuk kerja nyata asosiasi ini masih belum kelihatan. Ada Asosiasi Pekerja Film Iklan Indonesia, dan belakangan ada Asosiasi PH.

Kenapa sih sebenarnya kita perlu sebuah organisasi? Pada prinsipnya sebuah organisasi bisa muncul karena ada persamaan kepentingan, dan kesadaran bahwa banyak hal yang bisa didapat dengan lebih mudah dengan berjuang bersama. Memang bukan hal baru. "There is power in numbers." Lalu ada juga, "Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh".

Persamaan kepentingan apa yang menyatukan berbagai PH? Dan keuntungan apa yang didapat dengan bersatu? Bukankah selama ini isu yang beredar adalah, yang penting job itu ke gue? Nggak papa kali ini rugi, yang penting job masuk dulu? Nggak papa diskon habis-habisan yang penting kerja? Tanpa memikirkan bahwa hal itu "merusak harga pasar" dan sebenarnya membunuh kesejahteraan diri sendiri dalam jangka panjang.

Ada beberapa hal yang muncul di permukaan:
1. Bersatu dan bekerja sama memberi pengertian pada Agency yang suka seenaknya tidak mau membayar 50% sebelum produksi berlangsung. Kecuali ada PH yang punya pohon duit tumbuh di halaman belakang, rasanya semua setuju bahwa pembayaran 50% pertama akan memperlancar proses produksi sekaligus menunjukkan itikad baik semua pihak yang terlibat.

2. Bersatu dan bekerja sama meluruskan kebingungan pemerintah dalam soal regulasi dan iklim investasi. Sebagai kelompok yang memiliki persamaan kepentingan, asosiasi PH punya kekuatan lobi untuk mendorong keluarnya regulasi yang menguntungkan PH.

Sampai keluarnya peraturan MenKomInfo yang membingungkan semua pihak beberapa bulan yang lalu, bisnis PH di Indonesia bisa dibilang lepas dari campur tangan pemerintah. Tapi mendadak pemerintah merasa punya kepentingan untuk "melindungi tenaga kerja Indonesia" dan "merangsang pertumbuhan industri film lokal" dengan mengeluarkan peraturan yang rancu (karena menterinya kena reshuffle kabinet beberapa hari kemudian, meninggalkan warisan peraturan yang tidak jelas ujung pangkalnya).

Meski mirip dengan MIM - Made In Malaysia; regulasi proteksi pemerintah Malaysia, MII - Made In Indonesia ini tetap tidak secanggih Malaysia punya. Di Indonesia tidak ada badan khusus yang mengatur implementasi MII. Tidak jelas siapa yang berhak menjatuhkan sangsi apabila pelanggaran terjadi, tidak jelas juga siapa yang harus dilapori kalau ingin jadi PH yang baik. Tidak jelas.

Di pihak lain, ada perkembangan baru dari MenBudPar yang katanya ingin membuka keran sebesar besarnya untuk masuknya produksi asing ke Indonesia atas nama pertukaran budaya (dan tentu saja masuknya devisa) dan semangat kooperasi ASEAN.Sangat membingungkan, apalagi mengingat perdagangan bebas ASEAN 2008 sudah semakin dekat. Saat pasar dibuka lebar, Indonesia harus siap kalau tidak mau kalah.

Karena sekarang pemerintah sudah menaruh perhatian terhadap industri film iklan, mungkin sudah waktunya kita menjalin hubungan yang lebih akrab dengan pemerintah. Indonesia punya banyak potensi yang bisa digali lebih jauh untuk produksi film iklan. Keindahan alam Indonesia dan murahnya tenaga kerja bisa menjadi nilai lebih yang bisa dijual. Pasar terbuka mendorong iklim kompetisi dalam negri yang akhirnya akan meningkatkan kualitas dan daya jual.

Sekarang tinggal kita lihat, apakah IPFI hanya sebuah asosiasi-asosiasi-an atau sebuah organisasi dengan misi dan visi untuk membuat perubahan. Kita tidak butuh pernyataan. Kita ingin melihat kenyataan. Semoga.

Sunday, August 5, 2007

Belajar Mancing

Lagi-lagi masalah budget. Namanya juga produser, urusan sehari-hari tidak lebih dan tidak kurang selalu budget. Lagi ngobrol santai pun, biasanya curhat masalah yang sama. Sebisa mungkin teman ngobrol dan minum kopinya digilir supaya nggak dimusuhi, karena dianggap membosankan lantaran selalu mendendangkan lagu yang sama.

Bukan cerita baru kalau khayalan agency board tidak sesuai dengan budget klien yang tersedia. "Big ideas, small money." Bukan berarti ide yang bagus tidak bisa dieksekusi dengan anggaran terbatas... Ide yang bagus akan tetap jadi bagus apabila diperlakukan dengan sepantasnya. Tapi tidak berarti story board action-hero dari helikopter, melompati gedung, gunung dan menyeberangi lautan lalu pacaran di malam hari bisa dilaksanakan sama baiknya dengan budget sama dengan story board anak kecil makan permen di ruang tamu. Kalau ada produser PH yang bilang bisa, mungkin sebaiknya anda pikir-pikir lagi menggunakan/bekerja di PH tersebut.

Beberapa saat yang lalu ada sebuah board "berkeliaran" di pasaran untuk layanan super- ekslusif sebuah bank terkemuka. Strategi komunikasi yang satu ini ditujukan untuk menggaet nasabah kakap dengan uang tanpa seri, kaya raya dan bonafide. Tapi biaya yang klien "rela" keluarkan hanya setara (... bagus kalau setara, lebih kecil malah) dengan iklan motor seharga kurang dari 10 juta rupiah. Rupanya para praktisi terkemuka para klien tidak pernah belajar memancing. Penggunaan umpan yang tepat jadi urusan belakangan.

Biang keladi "salah umpan" ini adalah para perusahaan telekomunikasi dan makanan siap saji yang punya produk berbeda setiap bulannya. Yang penting bagi mereka, informasi tentang promo belanja terkini bisa sampai pada penonton sehingga uang masuk ke kantong mereka lebih cepat. Toh, iklannya hanya akan tayang 2 minggu...ngapain menghabiskan uang banyak-banyak untuk produksi? Akhirnya sistem produksi seperti ini diberlakukan ke seluruh produksi iklan. Sama rata, sama rasa. Mengingatkan pada iklan mobil bekas jaman dulu di US atau Australia; gambar puluhan mobil berbagai warna di latar belakang dan wajah si salesman extreme close -up sambil ngoceh nggak karuan.

Nampaknya sekarang punya budget produksi yang sesuai dengan hasil yang didapatkan, yang sesuai dengan nilai produk yang dijajakan, sudah tidak model lagi. Yang penting adalah mencapai hasil sebesar- besarnya dengan ongkos yang sekecil-kecilnya. Bagian produksi semua lini PH ditawar habis-habisan. "Bisa deh... kan produksi kemarin juga segini." Padahal produksi yang kemarin hanya sekadar shooting produk di studio, dan yang ini shooting di Bromo.

Akhirnya kita hanya bisa melantur kiri kanan, "Lha wong cuma umpan cacing tanah, kok minta ikan raksasa!"

Thursday, August 2, 2007

Mau Irit Malah...

Menjadi produser film iklan di jaman sekarang ini ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Saat semakin banyak orang berkeinginan menjadi produser karena sebagai sebuah jabatan ia terdengar "keren" dan "berkuasa", tanpa tahu bahwa profesi ini punya tantangannya tersendiri.

Seorang produser haruslah juga manajer kompeten, sekaligus seorang "juggler" sebuah sirkus bernama produksi. Belakangan ini seorang produser tidak hanya dituntut untuk menjadi manajer atau juggler, tapi juga tukang sulap. Semua mata menatap "sang manusia super" yang namanya Produser PH. Lucunya, bukan hanya tim produksi PH yang beranggapan begini, tapi klien dan agensi juga. Semua masalah harus bisa diselesaikan oleh Produser PH. Bagaimana caranya kalau klien baru approve konsep hari ini, butuh iklan on-air 2 minggu mendatang, ingin post di luar negeri bersama 4 orang tim marketing, kerja dengan sutradara bule, pakai talent mukanya pan-Asian dengan budget 300 juta including PPh? Oh, jangan lupa ada "titipan" 20 juta ya...

Sebagai yang punya duit, klien sering punya anggaran dan harapan yang tidak sejalan. Sudah begitu seingkali menunda pengambilan keputusan yang mengakibatkan jadwal produksi morat marit. Ujung-ujungnya duit lagi. Karena terbatasnya waktu, banyak kompromi harus dilaksanakan dan mau tidak mau akhirnya kualitas gambar menjadi korban. Daya tarik sebuah film 30 detik menjadi berkurang karena tidak cukup waktu dihabiskan untuk membuat film itu menarik perhatian pemirsa sehingga akhirnya iklan itu terlupakan begitu saja. Tanggung jawab sepenuhnya dilimpahkan kepada sutradara dan PH. Klien dan agensi sering lupa bahwa proses ini merupakan sebuah kerja tim, dan waktu yang terbuang karena klien tidak bisa mengambil keputusan bisa membuat iklan yang mestinya indah dan punya daya jual tinggi menjadi biasa-biasa saja dan terlupakan setelah tayang seminggu.

Masih berhubungan dengan duit, belakangan ini sering ditemui klien yang "menawar" biaya produksi seakan produksi ratusan juta rupiah itu bisa ditawar seperti kacang goreng. Agak menyedihkan sebenarnya saat klien (yang perusahaannya bernilai "M-M-an") melihat biaya produksi dan mempertanyakan apakah katering 50,000/orang tidak kemahalan; atau apakah shooting dengan 50 kru tidak kebanyakan.

Mungkin yang perlu dikaji ulang adalah paradigma staf marketing, brand image and departemen apalah itu dari para klien. Kampanye marketing pada dasarnya memang MAHAL. Nilai dan makna proses tersebut bukan sekadar biaya produksi sebuah iklan 30 detik, belanja media spot, biaya pemotretan iklan cetak versus. peningkatan hasil penjualan. Mengapa NIKE sebagai sebuah merek bisa sukses seperti sekarang ini? Mengapa mereka menghabiskan jutaan dolar hanya untuk sebuah iklan? Karena mereka menyadari pentingnya komunikasi kepada konsumen dan mereka ingin berkomunikasi dengan efektif dalam jangka waktu panjang, bukan seminggu atau sebulan. Dan sebuah pekerjaan diberikan kepada mereka (PH, Agensi) yang bisa melaksanakannya dengan baik, bukan karena mereka bisa menghemat biaya marketing.

Seringkali dalam rangka efisiensi biaya, mereka lupa akan rencana dan tujuan kampanye itu sendiri. Agensi mestinya juga bisa terlibat dalam proses ini, dengan selalu kembali pada brief awal sebuah kampanye. Tanpa sadar penghematan beberapa puluh juta berakibat gagalnya sebuah kampanye, yang tentu saja bernilai ratusan kali lipat.

Mudah-mudahan ini tidak dilihat sebagai keluhan seorang produser yang sekadar ingin tambah biaya produksi. Tapi lebih pada keinginan agar setiap proses (apalagi yang berhubungan dengan biaya) mendapat pemikiran matang dari semua pihak yang terlibat. Jangan kebanggaan menghemat biaya sesaat, malah menyia-nyiakan "The Big Plan".