Setelah sekian lama menanti, akhirnya Indonesia punya juga asosiasi- asosiasi-an di dunia produksi film iklan. Saya bilang asosiasi-asosiasi-an karena bentuk kerja nyata asosiasi ini masih belum kelihatan. Ada Asosiasi Pekerja Film Iklan Indonesia, dan belakangan ada Asosiasi PH.
Kenapa sih sebenarnya kita perlu sebuah organisasi? Pada prinsipnya sebuah organisasi bisa muncul karena ada persamaan kepentingan, dan kesadaran bahwa banyak hal yang bisa didapat dengan lebih mudah dengan berjuang bersama. Memang bukan hal baru. "There is power in numbers." Lalu ada juga, "Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh".
Persamaan kepentingan apa yang menyatukan berbagai PH? Dan keuntungan apa yang didapat dengan bersatu? Bukankah selama ini isu yang beredar adalah, yang penting job itu ke gue? Nggak papa kali ini rugi, yang penting job masuk dulu? Nggak papa diskon habis-habisan yang penting kerja? Tanpa memikirkan bahwa hal itu "merusak harga pasar" dan sebenarnya membunuh kesejahteraan diri sendiri dalam jangka panjang.
Ada beberapa hal yang muncul di permukaan:
1. Bersatu dan bekerja sama memberi pengertian pada Agency yang suka seenaknya tidak mau membayar 50% sebelum produksi berlangsung. Kecuali ada PH yang punya pohon duit tumbuh di halaman belakang, rasanya semua setuju bahwa pembayaran 50% pertama akan memperlancar proses produksi sekaligus menunjukkan itikad baik semua pihak yang terlibat.
2. Bersatu dan bekerja sama meluruskan kebingungan pemerintah dalam soal regulasi dan iklim investasi. Sebagai kelompok yang memiliki persamaan kepentingan, asosiasi PH punya kekuatan lobi untuk mendorong keluarnya regulasi yang menguntungkan PH.
Sampai keluarnya peraturan MenKomInfo yang membingungkan semua pihak beberapa bulan yang lalu, bisnis PH di Indonesia bisa dibilang lepas dari campur tangan pemerintah. Tapi mendadak pemerintah merasa punya kepentingan untuk "melindungi tenaga kerja Indonesia" dan "merangsang pertumbuhan industri film lokal" dengan mengeluarkan peraturan yang rancu (karena menterinya kena reshuffle kabinet beberapa hari kemudian, meninggalkan warisan peraturan yang tidak jelas ujung pangkalnya).
Meski mirip dengan MIM - Made In Malaysia; regulasi proteksi pemerintah Malaysia, MII - Made In Indonesia ini tetap tidak secanggih Malaysia punya. Di Indonesia tidak ada badan khusus yang mengatur implementasi MII. Tidak jelas siapa yang berhak menjatuhkan sangsi apabila pelanggaran terjadi, tidak jelas juga siapa yang harus dilapori kalau ingin jadi PH yang baik. Tidak jelas.
Di pihak lain, ada perkembangan baru dari MenBudPar yang katanya ingin membuka keran sebesar besarnya untuk masuknya produksi asing ke Indonesia atas nama pertukaran budaya (dan tentu saja masuknya devisa) dan semangat kooperasi ASEAN.Sangat membingungkan, apalagi mengingat perdagangan bebas ASEAN 2008 sudah semakin dekat. Saat pasar dibuka lebar, Indonesia harus siap kalau tidak mau kalah.
Karena sekarang pemerintah sudah menaruh perhatian terhadap industri film iklan, mungkin sudah waktunya kita menjalin hubungan yang lebih akrab dengan pemerintah. Indonesia punya banyak potensi yang bisa digali lebih jauh untuk produksi film iklan. Keindahan alam Indonesia dan murahnya tenaga kerja bisa menjadi nilai lebih yang bisa dijual. Pasar terbuka mendorong iklim kompetisi dalam negri yang akhirnya akan meningkatkan kualitas dan daya jual.
Sekarang tinggal kita lihat, apakah IPFI hanya sebuah asosiasi-asosiasi-an atau sebuah organisasi dengan misi dan visi untuk membuat perubahan. Kita tidak butuh pernyataan. Kita ingin melihat kenyataan. Semoga.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment