Saturday, May 24, 2008

Buah Permen Kominfo 25

Permen Kominfo 25 bukan permen rasa baru, bukan pula permen obat batuk saingan OBH. Permen Kominfo 25 adalah Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi yang menggegerkan dunia produksi periklanan tahun lalu. Isu lokal v.asing menjadi berita hangat, sutradara dan kameramen asing yang biasa keluar masuk Indonesia kebingungan. Agensi dan klien pun turut kelimpungan karena simpang siurnya informasi. Bahkan para kru asing yang telah membuat Indonesia sebagai rumah selama bertahun-tahun pun terancam jobless karena Permen 25 ini.

Setahun kemudian, Permen 25 tidak lagi dianggap sebagai hambatan bagi para pekerja asing. Buahnya langsung bisa terlihat. Seiring dengan maraknya budaya komisi dan korupsi di negara ini, Permen 25 berhasil bukan untuk merangsang pengingkatan kualitas sumber daya manusia pekerja film Indonesia tapi untuk memperkaya beberapa pihak yang terlibat dalam sistem birokrasi.

Permen 25 menciptakan lapangan kerja baru di bidang pengurusan izin tenaga kerja asing. Setiap PH punya 'orang khusus' -- entah kenalan brio perjalanan, si anu dari kantor imigrasi atau apapun itu. Spesialisasi mereka adalah 'memperlancar' pengurusan izin bagi tenaga ahli asing yang dibutuhkan untuk produksi iklan.

Setahun kemudian, apa kabar tenaga kerja Indonesia? Menurut Permen 25, ada proses pelaporan sebagai bentuk pengawasan setiap 6 bulan. Sudahkah ada yang mendengar hasilnya? Apakah Permen 25 berhasil memberi dukungan terhadap pelatihan profesionalitas tenaga kerja lokal? Apakah kualitas pekerja film kita telah meningkat selama setahun belakangan ini? Ataukah pekerja film kita malah santai-santai karena merasa sebagai orang lokal pekerjaannya dilindungi pemerintah?

Semoga tidak! Jangan lupa, pemerintah Indonesia ini punya kebiasaan yang tidak terduga,... Ganti menteri ganti peraturan. Awas Pemilu 2009 sudah di depan mata.

Thursday, December 20, 2007

Hibernasi APFII

APFII sekarat kita sudah lama dengar. APFII mati gaya itu berita yang sudah tidak pernah dibicarakan lagi. APFII dibekukan karena kurang dana? Itu berita lama yang patut jadi pemikiran bersama.

Banyak orang punya ide brilian, tapi hanya mereka yang punya ketekunanlah yang bisa membuatnya menjadi besar. Seringkali 'ide bagus' itu over-rated dan akhirnya hanya tinggal jadi kenangan. Sebagai sebuah ide, terbentuknya APFII merupakan sebuah cetusan brilian. Meskipun dianggap agak terlambat, banyak pihak menyambut APFII dengan gembira. Tiba-tiba banyak hal yang selama ini menjadi mimpi para pekerja film Indonesia, punya sarana untuk mungkin menjadi kenyataan.

Tapi apa yang terjadi selama 2 tahun mulai dari lahirnya APFII, hingga saatnya ia mati suri? Dimana salahnya? Mengapa sebuah ide mulia bisa berakhir begitu saja? Ada beberapa hal yang patut dicatat:

1. Tujuan Pendirian Asosiasi
Terlepas dari rangkuman kata-kata indah tujuan lahirnya APFII, sebuah organisasi harus mempunyai rencana nyata dalam rangka mencapai tujuannya. Tujuan harus dilihat sebagai rencana jangka panjang dengan pelaksanaan bertahap.

Saat berbicara dengan beberapa orang anggota APFII, tidak ada koherensi jawaban mengenai tujuan dan langkah nyata organisasi ini. Ada pelatihan, ada pencanangan peraturan demi melindungi tenaga kerja dalam negeri, semuanya tumpang tindih tanpa kematangan pemikiran.

2. Realita di Lapangan
Tenaga kerja perfilman Indonesia sudah terlalu lama berjalan sendiri tanpa aturan. Tidak ada standar harga, tidak ada jam kerja. Semua pekerja adalah tuan bagi dirinya sendiri. Asas keadilan yang dipakai adalah asas adil kala menguntungkan. Regulasi menuntut sebuah standard dan komitment kepatuhan; keduanya harus berjalan seiring. Proteksi jam kerja maksimum tidak bisa dijalankan apabila pekerja tidak mau dikenakan standarisasi harga. Standarisasi harga tidak akan diterima apabila pekerja tidak mendapat keuntungan dari padanya.

3. Waktu
Seringkali kita lupa bahwa ide brilian membutuhkan waktu. Sama seperti ide bagus dari agensi yang terpaksa dieksekusi dengan 'begitu-begitu saja' karena kendala waktu. Kultur 'fast-food' serba instan, tanpa sadar dijadikan patokan. Proses tidak lagi dilihat sebagai pembelajaran, tapi hanya sebagai waktu yang terbuang tanpa hasil.

Tulisan ini bukanlah kritik atas tim APFII yang selama ini sudah bekerja keras melakukan sesuatu. Bagaimanapun, inisiatif mereka perlu diacungi jempol. Organisasi ini toh belum mati, hanya tidur sementara mengumpulkan energi. Seperti layaknya beruang kutub yang mampu mengkondisikan dirinya dalam hibernasi, mudah-mudahan waktu tidur panjang ini sekaligus menjadi proses belajar bersama dalam kerendahan hati, untuk mencapai utopia bagi semua pekerja film Indonesia. Tanpa pretensi dan tanpa agenda tersembunyi.

=======================================

Baru dengar berita APFII, Asosiasi Perkerja Film Iklan Indonesia, segera sebagai status non aktif. Berikut adalah email.
-------

Rekan pengurus, & stock holder perintis organisasi

Sebagaimana diketahui angka kas APFII terus defisit, selama 2 tahun ini kita memakai sisa uang hasil konggres untuk biaya operasional dan over head cost sejumlah kurang lebih 4 juta per bulan ( tidak termasuk biaya sewa kantor dan peralatan inventaris - yang merupakan sumbangan saya pribadi ).
Adapun iuran anggota sudah habis untuk asuransi dan sedikit penambalan biaya gaji sdr. "H" sebagai tenaga sekretariat. Sebagai info terakhir dari Bendahara, sdr. "I", laporan kas tinggal kurang lebih 5 juta rupiah.

Projection tahun depan, saya merencanakan pindah kantor ke tempat yang lebih murah, dengan perincian :
- Mencari kontrakan dengan biaya antara 25 - 30 juta setahun.
- Biaya operasional tetap 4 - 5 juta setahun.
Dan selama 2 bulan terakhir saya mencoba menggali fund raising,namun sejauh ini hanya ada kontribusi dari saudara-saudara "I2", "L", "T" dan "H2" dengan total Rp 20 juta. Memang sesuatu yang tidak bisa dipaksakan.

Bulan Januari sewa kantor sudah habis, dan karena satu alasan saya tidak bisa lagi menanggung beban sewa kantor secara pribadi.
Untuk itu dengan sangat menyesal saya harus membekukan organisasi yang kita cintai sampai dengan waktu yang tidak ditentukan. Untuk sementara dana talangan sebesar 20 juta akan saya simpan di rekening APFII.
Bendahara dalam waktu dekat akan bekerja sama dengan auditor sumbangan rekan sdr "H3" untuk mengeluarkan laporan yang sudah bisa dilihat awal bulan Januari.

Mohon maaf jika keputusan saya seolah membuat semangat yang selama ini kita kumandangkan menjadi surut. Bagaimanapun kita tidak bisa naive bahwa menjalankan organisasi butuh dana. Seperti pepatah jawa Jer Basuki Mawa Bea

Maju APFII


teriring salam

Sunday, November 25, 2007

Bagaimana Bisa Bersaing?

Dalam kesempatan untuk berkompetisi untuk sebuah job regional, terlihat bahwa biaya produksi TVC di Indonesia adalah salah satu yang tertinggi dibandingkan dengan Malaysia, Singapura dan Thailand. Pikiran pertama yang muncul adalah, "Tidak mungkin! Sumber daya manusia dan biaya hidup lebih murah di Indonesia daripada negara2 tersebut di atas!" Salah besar. Kru film Indonesia adalah salah satu yang termahal di antara negara ASEAN.

Kok bisa?? Masalah utama produksi di Indonesia adalah penggunaan konsep "Padat Karya" - alias gotong royong; semuanya cenderung dilakukan beramai-ramai. Rejeki dibagi ramai-ramai, demi kesejahteraan ramai-ramai. Ya, shooting juga akhirnya ramai-ramai. Masih bingung? Silakan lihat pemaparan di bawah ini.

Art Department
Untuk sebuah shooting di Thailand, biasanya hanya dibutuhkan 4 orang kru art department. Di sini, minimal ada 6-8 orang, mulai dari runner hingga prop master. Fee per orang pun lebih tinggi daripada Thailand.

Belum lagi kalau set yang digunakan besar. Bisa ditemukan 15-20 orang anggota set builder tidur selama shooting berlangsung, di belakang set yang mereka bangun. Judulnya sih standy-by, kalau-kalau ada perubahan set mendadak ataupun perlu menggeser set.

Lighting
Di Malaysia dan Singapura, sebuah produksi cukup menggunakan 1 orang Gaffer dan 2-3 Best Boys. Indonesia hanya memiliki sedikit Gaffer sungguhan, sehingga dibutuhkan kru lebih banyak. Kalau lampu yang digunakan lebih besar, meski jumlah lebih sedikit, krunya harus lebih banyak. Atas dasar gotong royong ini, seorang "Chief" jarang mendelegasikan pekerjaan, dan lebih sering mengerjakan semua sendiri. Anak buah yang malas tinggal duduk dan ngopi, sementara "Chief" mengumpat sendirian.

Transportasi dan Konsumsi
Tentunya semua orang banyak ini perlu diberi makan dan tumpangan kendaraan. Biaya untuk sewa mobil dan makanan pun semakin bertambah.

Biaya Tersembunyi
Semakin banyak orang yang terlibat dalam sebuah produksi pasti akan menambah komponen biaya tersembunyi yang harus ditanggung. Kemungkinan mark up meningkat, biaya rokok dan makan siang selama persiapan pun semakin menggelembung.

Indonesia adalah negara dengan 220 juta penduduk yang diberkati dengan lokasi indah dan banyak lagi. Apa yang akan terjadi bila Indonesia memasuki pasar bebas? Bagaimana PH lokal bisa bersaing dengan rekannya di pasar regional bila keadaan seperti ini terus berlangsung? Apa yang harus kita lakukan untuk menyongsong masa depan persaingan bebas? Apakah Indonesia akan semakin tertinggal di kancah penghargaan internasional?

Waktunya bertindak.

Wednesday, November 21, 2007

SPESIES PRODUSER AGENSI

Mengamati berbagai tipe produser agensi bisa jadi sangat menarik. Beberapa saat yang lalu ada anak magang di kantor yang menanyakan perbedaan antara berbagai agensi produser. Setelah mengerutkan kening sesaat dan membayangkan bermacam karakter, muncul daftar di bawah ini.

TIPE I: PASIF
Agensi produser tipe yang satu ini tipikal pekerja kantor ala bank teng-go. Begitu teng, langsung go. Mereka selalu hadir setiap hari namun tanpa inisiatif. Sepanjang hari mereka hanya menanti order, baik dari PH, kreatif ataupun dari departemen lainnya. Jangan berharap mendapatkan kontribusi dari tipe satu ini selama pra-produksi. Agensi produser tipe I menerima teguran, atau amarah dengan senang hati. Mereka tidak takut dipecat karena tidak kompeten, karena mereka tahu bahwa masa kerja mereka yang sudah lama akan menghasilkan pesangon yang berlimpah.

TIPE II: CONTROL FREAK
Tipe II ini bisa membuat hidup menjadi pekerjaan lebih teratur dan lebih terencana karena mereka HARUS tahu segala sesuatu. Namun sebagai kompensasi, bersiaplah menerima minimal 10 SMS setiap hari dan telepon yang bertubi-tubi. Jangan sampai client service berhubungan langsung dengan PH, karena manusia tipe ini bisa loncat dan ngamuk-ngamuk karena merasa dilangkahi. Berharap saja bertemu agensi produser tipe II yang punya kecerdasan tinggi, karena ia akan selalu siap menghadapi segala sesuatu dan tidak akan menyerah pada 'nasib'.

TIPE III: COMPLAIN MASTER
Pekerjaan utama mereka adalah mengeluh. Mulai dari klien yang selalu terlambat membayar agensi, kelakuan anak kreatif yang manja, sampai ketidak adaan tukang pijit di lokasi shooting yang nun jauh di sana. Kebanyakan dari mereka punya masalah pribadi dan selalu menyalahkan situasi, dan kondisi sekeliling mereka. Hidup mereka selalu dikesankan teraniaya dan menderita. Mereka senang menempatkan diri sebagai korban. Mereka tidak suka disalahkan. Kalau terlambat datang meeting, PH salah karena tidak mengingatkan. Huh?

Kalau SMS mereka tidak dibalas, mereka pasti mengeluh juga. Pada saat shooting, mereka lah yang pertama mengeluh kalau pengambilan gambar tidak dimulai sesuai call sheet; tanpa peduli bahwa keterlambatan disebabkan oleh klien yang tidak bisa memutuskan warna wardrobe.

TIPE IV: SI SUPER PAYAH
Punya agensi produser tipe IV berarti sama saja dengan tidak punya agensi produser. Sama seperti rekan-rekan Tipe I, mereka hanyalah kurir pesan yang tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Bedanya mereka peduli untuk tidak dipecat, sehingga mereka berusaha untuk 'sok mengerti dan peduli' . Hal ini malah menciptakan kebingungan untuk semua pihak.

TIPE V: SI RAKUS
Mereka yang masuk kategori ini paling menyebalkan untuk diajak bekerja sama. Motto hidup mereka adalah "Kerja sedikit, untung banyak." Ini mulai dari mendapatkan komisi besar dari job budget kecil, minta makan 6 kali sehari saat shooting day (mulai dari FjL, sushi sampai Haagen Dazs), sampai mengharapkan PH membayar belanjaan kala post di luar negeri.

TIPE VI: SANG PELINDUNG
Agensi tipe sang pelindung punya tujuan mulia, setidaknya dalam pikiran mereka. Tapi prakteknya sering menghambat produksi dan mengecilkan proses pra-produksi. Mereka sangat melindungi 'ide agensi' atau 'kepentingan klien' dengan segala cara. Mereka akan membiarkan agensi berdebat 1 jam untuk sebuah komentar dari klien sementara sutradara dan kru duduk bengong menunggu keputusan mereka, supaya bisa kembali kerja. Bersiaplah untuk proses post yang panjang karena atas nama 'demokrasi', agensi produser tipe ini akan keliling ruangan untuk mengumpulkan komentar dari semua anggota tim, walaupun dipaksakan.

TIPE VII: THE BEST
Seperti banyak area dalam industri ini yang butuh sumber daya manusia, agensi produser tipe VI sangatlah langka. Dibutuhkan campuran dengan dosis tepat antara CONTROL FREAK dan SANG PELINDUNG, ditambah dengan sifat masuk akal, pengetahuan teknis dan integritas. Agensi Produser Terbaik bisa mengatur harmoni antara realita budget dan ekspektasi tim kreatif dan harapan klien. Ia juga bisa melindungi kepentingan agensi dari PH yang ingin coba-coba mengambil jalan pintas. Ia punya pengetahuan teknis yang cukup untuk bisa mengemudikan laju komentar yang tidak seharusnya pada proses produksi yang tidak tepat; komentar untuk pilihan senyum talent yang dilontarkan saat online, bisa dikoreksi untuk menghindari pemborosan waktu.

Menurut anda, tipe mana yang paling sering ditemui?

Thursday, September 27, 2007

Jadi Supplier Pilihan

Beberapa tahun dimulailah sebuah trend baru yaitu "Supplier Pilihan". Klien besar seperti Unilever menghabiskan banyak uang untuk produksi TVC. Meskipun bekerja dengan beberapa agensi yang berbeda, ada PH-PH yang kerap muncul sebagai supplier utama. Lalu timbul ide untuk terus bekerja dengan beberapa PH yang sama ini; hingga terciptalah sebuah daftar. Dengan bekerja dengan supplier yang sama, klien mengharapkan "bulk discount" atau "rebate" pada akhir tahun.

Ide ini sebenarnya bagus dan bisa jadi saling menguntungkan untuk agensi, klien dan PH, namun pada prakteknya status "pilihan" ini hanya sekadar tulisan di atas kertas. Program seperti ini hanya bisa berjalan apabila klien dan agensi bersedia memberi komitmen jumlah volume pekerjaan yang diberikan selama setahun. Termasuk dalam daftar supplier pilihan tidak akan ada gunanya kalau selama setahun, PH hanya dapat job sesekali.

Itulah kenyataan yang terjadi. Setelah berbangga bisa masuk dalam "daftar supplier pilihan" (karena tidak mudah dan harus membuktikan kualitas standar produksi yang baik), PH sering kecewa karena ternyata mereka yang tidak masuk dalam daftar pun bisa pitching dan malah mendapatkan job. Mungkin ini sebabnya jarang ada PH yang menganggap "daftar supplier pilihan" ini sesuatu yang serius.

Di akhir tahun program ini malah jadi beban departemen akunting, karena harus menyiapkan dokumen khusus untuk rebate dan diskon. Belum lagi kalau ternyata pembayaran masih nyangkut sana sini. Bagaimana mau memberi rebate, kalau sebenarnya masih banyak piutang yang belum terbayarkan? Kenapa PH harus repot memberi diskon untuk sedikit job yang bayarnya telat? Lebih baik tidak masuk daftar pilihan tapi tidak punya beban seperti yang disebut di atas!

Mungkin ini jadinya kalau agensi akhirnya hanya menjadi broker pekerjaan. Sebuah degradasi posisi yang menyedihkan. Sebuah "agensi" mestinya menjadi "agen" - posisi yang punya hak, kewajiban dan tanggung jawab. "Broker" hanyalah sekadar "perantara" - posisi yang lepas dari tanggung jawab apapun dan karena itu memiliki imbalan yang jauh lebih kecil daripada sebuah "agen".

Apabila agensi serius menerapkan Program Supplier Pilihan, ada langkah-langkah yang harus dibenahi:
1. Menjadi "pilihan" haruslah bisa dibanggakan
2. Setiap PH akan ingin menjadi "pilihan" apabila ada semacam eksklusivitas yang terkandung di dalamnya. Setiap job hanya akan di-pitch kepada PH yang telah mendapat status "pilihan". Persaingan antara mereka yang "terpilih" menjadi adil.
3. Kalau proses pitching melibatkan mereka yang bukan "pilihan", berarti ada ketidak adilan karena PH yang bukan "pilihan" tidak berkewajiban memberikan diskon di akhir tahun.
4. Proses pembayaran harus jelas. PH harus sudah menerima seluruh pembayaran untuk semua job yang berjalan, meskipun agensi memberikan perpanjangan waktu pembayaran pada klien.

Sampai berapa seriuskah agensi dan klien dengan program ini? Kita lihat bersama.

Tuesday, September 25, 2007

Mengenang Masa Lalu

Katanya hanya orang tua yang suka mengenang masa lalu. Dimana semuanya terasa lebih indah, lebih menyenangkan, lebih efisien tanpa ada yang tahu apakah memori itu nyata atau sekedar romantisme semata. Beberapa saat yang lalu, saya bertemu dengan seorang produser senior, yang sudah berkecimpung di industri ini lebih dari 20 tahun. Pembicaraan kami tanpa sadar bergerak mundur ke masa lalu...

Q: Sori Bang, ini ada agensi minta ketemu mendadak mau nge-brief. Ada-ada saja, jam segini baru minta meeting suruh masukin quotation jam 8 pagi besok. Memangnya bikin quotation tinggal merem? Dia mau aku nggak tidur kali!

A: Iya, memang sekarang agency suka kasih brief seenaknya. Dulu biasanya kita terima brief tertulis lengkap dengan informasi tentang brand, target market, strategi yang sudah dijalankan, tujuan yang hendak dicapai untuk TVC yang satu ini. Kita juga diberikan info tentang kompetitor, latar belakang kreatif, juga benang merah strategi perusahaan keseluruhan.

Q: Wah, enak banget? Jadi kita mikirnya nggak asal siapa yang ada schedule aja ya?

A: Iya! Kita approach director juga lebih enak, karena informasinya lengkap. Director tinggal mikir enaknya board ini mau diapain, paling mentok telpon2an sama creative director dan tim kreatif. Dari ngobrol singkat saja, agency bisa punya bayangan, kira-kira director ini nyambung atau enggak dengan ide yang ingin disampaikan. Nggak kayak sekarang, sedikit-sedikit suruh director bikin treatment.

Q: Itu memang paling menyebalkan. Padahal kita juga tahu kalau kita ini cuma dijadikan perbandingan saja. Kan nggak enak sama director. Belum kalau mereka ditanya budget klien dan jawabannya, unlimited deh. Nggak mungkin!!! Mana ada??

A: Betul itu! Dulu kita selalu mendapat indikasi budget. Kalau nominalnya jelas, director juga punya batasan berpikir secara kreatif, dan kita juga tahu alokasi tim produksi seperti apa. Klien malah seharusnya lebih untung karena berarti anggarannya dihabiskan dengan seefisien mungking tanpa membuang-buang waktu, tawar menawar, ganti director karena budget nggak cukup.

Q: Iya, sayang sekali semuanya sudah tidak dilakukan sekarang. Dulu ya, Bang? Dulu?!

Pembicaran terhenti. Kami berdua diam terpekur menatap kepulan asap yang keluar dari mulut masing-masing.


Penggambaran 'dulu' ternyata memang lebih indah. Kapan ya 'dulu' berubah jadi 'sekarang'?

PLATINUM BIRD

Moda Transportasi Khusus Agency/Client
1-800-9867-74

1. Kami melayani penjemputan di mana saja dan ke mana saja, selama klien bisa hadir shooting, meskipun sebelumnya klien sedang ada meeting di kantor cabang Bogor.

2. Kami melayani penjemputan bagi agency yang sulit bangun pagi sesuai call time. Waktu penjemputan bisa diatur; silakan hubungi unit manager kami.

3. Kami melayani transportasi agar agency bisa hadir ke meeting job lainnya, dengan PH yang berbeda, dan mengembalikannya kembali ke lokasi shooting setelah meeting usai.

4. Kami melayani penghantaran agency dan klien sampai ke rumah masing-masing setelah shooting selesai, jam berapa saja, ke mana saja.

5. Kami melayani penghantaran khusus bagi mereka yang jenuh dengan mobil antar-jemput shooting ala anak sekolah, agar semuanya bisa cepat sampai di rumah.


Syarat dan Ketentuan Berlaku:
  • Semua biaya transportasi tersebut di atas diambil dari keseluruhan biaya produksi yang dibayarkan oleh klien
  • Proses tawar menawar biaya produksi bisa mengurangi pelayanan transportasi khusus kami
  • Gangguan yang timbul saat pengambilan gambar karena permintaan tersebut di atas sehari sebelumnya tidak menjadi tanggung jawab PH, melainkan agency & klien yang bersangkutan
  • Penggunaan layanan kami secara berlebihan kepada staf agency junior bisa mengakibatkan ketidakstabilan dan arogansi sebelum waktunya dan tidak menjadi tanggung jawab PH
  • Ketidak seimbangan yang terjadi antara layanan transportasi bagus dan TVC yang jelek di luar tanggung jawab PH