Thursday, September 27, 2007

Jadi Supplier Pilihan

Beberapa tahun dimulailah sebuah trend baru yaitu "Supplier Pilihan". Klien besar seperti Unilever menghabiskan banyak uang untuk produksi TVC. Meskipun bekerja dengan beberapa agensi yang berbeda, ada PH-PH yang kerap muncul sebagai supplier utama. Lalu timbul ide untuk terus bekerja dengan beberapa PH yang sama ini; hingga terciptalah sebuah daftar. Dengan bekerja dengan supplier yang sama, klien mengharapkan "bulk discount" atau "rebate" pada akhir tahun.

Ide ini sebenarnya bagus dan bisa jadi saling menguntungkan untuk agensi, klien dan PH, namun pada prakteknya status "pilihan" ini hanya sekadar tulisan di atas kertas. Program seperti ini hanya bisa berjalan apabila klien dan agensi bersedia memberi komitmen jumlah volume pekerjaan yang diberikan selama setahun. Termasuk dalam daftar supplier pilihan tidak akan ada gunanya kalau selama setahun, PH hanya dapat job sesekali.

Itulah kenyataan yang terjadi. Setelah berbangga bisa masuk dalam "daftar supplier pilihan" (karena tidak mudah dan harus membuktikan kualitas standar produksi yang baik), PH sering kecewa karena ternyata mereka yang tidak masuk dalam daftar pun bisa pitching dan malah mendapatkan job. Mungkin ini sebabnya jarang ada PH yang menganggap "daftar supplier pilihan" ini sesuatu yang serius.

Di akhir tahun program ini malah jadi beban departemen akunting, karena harus menyiapkan dokumen khusus untuk rebate dan diskon. Belum lagi kalau ternyata pembayaran masih nyangkut sana sini. Bagaimana mau memberi rebate, kalau sebenarnya masih banyak piutang yang belum terbayarkan? Kenapa PH harus repot memberi diskon untuk sedikit job yang bayarnya telat? Lebih baik tidak masuk daftar pilihan tapi tidak punya beban seperti yang disebut di atas!

Mungkin ini jadinya kalau agensi akhirnya hanya menjadi broker pekerjaan. Sebuah degradasi posisi yang menyedihkan. Sebuah "agensi" mestinya menjadi "agen" - posisi yang punya hak, kewajiban dan tanggung jawab. "Broker" hanyalah sekadar "perantara" - posisi yang lepas dari tanggung jawab apapun dan karena itu memiliki imbalan yang jauh lebih kecil daripada sebuah "agen".

Apabila agensi serius menerapkan Program Supplier Pilihan, ada langkah-langkah yang harus dibenahi:
1. Menjadi "pilihan" haruslah bisa dibanggakan
2. Setiap PH akan ingin menjadi "pilihan" apabila ada semacam eksklusivitas yang terkandung di dalamnya. Setiap job hanya akan di-pitch kepada PH yang telah mendapat status "pilihan". Persaingan antara mereka yang "terpilih" menjadi adil.
3. Kalau proses pitching melibatkan mereka yang bukan "pilihan", berarti ada ketidak adilan karena PH yang bukan "pilihan" tidak berkewajiban memberikan diskon di akhir tahun.
4. Proses pembayaran harus jelas. PH harus sudah menerima seluruh pembayaran untuk semua job yang berjalan, meskipun agensi memberikan perpanjangan waktu pembayaran pada klien.

Sampai berapa seriuskah agensi dan klien dengan program ini? Kita lihat bersama.

Tuesday, September 25, 2007

Mengenang Masa Lalu

Katanya hanya orang tua yang suka mengenang masa lalu. Dimana semuanya terasa lebih indah, lebih menyenangkan, lebih efisien tanpa ada yang tahu apakah memori itu nyata atau sekedar romantisme semata. Beberapa saat yang lalu, saya bertemu dengan seorang produser senior, yang sudah berkecimpung di industri ini lebih dari 20 tahun. Pembicaraan kami tanpa sadar bergerak mundur ke masa lalu...

Q: Sori Bang, ini ada agensi minta ketemu mendadak mau nge-brief. Ada-ada saja, jam segini baru minta meeting suruh masukin quotation jam 8 pagi besok. Memangnya bikin quotation tinggal merem? Dia mau aku nggak tidur kali!

A: Iya, memang sekarang agency suka kasih brief seenaknya. Dulu biasanya kita terima brief tertulis lengkap dengan informasi tentang brand, target market, strategi yang sudah dijalankan, tujuan yang hendak dicapai untuk TVC yang satu ini. Kita juga diberikan info tentang kompetitor, latar belakang kreatif, juga benang merah strategi perusahaan keseluruhan.

Q: Wah, enak banget? Jadi kita mikirnya nggak asal siapa yang ada schedule aja ya?

A: Iya! Kita approach director juga lebih enak, karena informasinya lengkap. Director tinggal mikir enaknya board ini mau diapain, paling mentok telpon2an sama creative director dan tim kreatif. Dari ngobrol singkat saja, agency bisa punya bayangan, kira-kira director ini nyambung atau enggak dengan ide yang ingin disampaikan. Nggak kayak sekarang, sedikit-sedikit suruh director bikin treatment.

Q: Itu memang paling menyebalkan. Padahal kita juga tahu kalau kita ini cuma dijadikan perbandingan saja. Kan nggak enak sama director. Belum kalau mereka ditanya budget klien dan jawabannya, unlimited deh. Nggak mungkin!!! Mana ada??

A: Betul itu! Dulu kita selalu mendapat indikasi budget. Kalau nominalnya jelas, director juga punya batasan berpikir secara kreatif, dan kita juga tahu alokasi tim produksi seperti apa. Klien malah seharusnya lebih untung karena berarti anggarannya dihabiskan dengan seefisien mungking tanpa membuang-buang waktu, tawar menawar, ganti director karena budget nggak cukup.

Q: Iya, sayang sekali semuanya sudah tidak dilakukan sekarang. Dulu ya, Bang? Dulu?!

Pembicaran terhenti. Kami berdua diam terpekur menatap kepulan asap yang keluar dari mulut masing-masing.


Penggambaran 'dulu' ternyata memang lebih indah. Kapan ya 'dulu' berubah jadi 'sekarang'?

PLATINUM BIRD

Moda Transportasi Khusus Agency/Client
1-800-9867-74

1. Kami melayani penjemputan di mana saja dan ke mana saja, selama klien bisa hadir shooting, meskipun sebelumnya klien sedang ada meeting di kantor cabang Bogor.

2. Kami melayani penjemputan bagi agency yang sulit bangun pagi sesuai call time. Waktu penjemputan bisa diatur; silakan hubungi unit manager kami.

3. Kami melayani transportasi agar agency bisa hadir ke meeting job lainnya, dengan PH yang berbeda, dan mengembalikannya kembali ke lokasi shooting setelah meeting usai.

4. Kami melayani penghantaran agency dan klien sampai ke rumah masing-masing setelah shooting selesai, jam berapa saja, ke mana saja.

5. Kami melayani penghantaran khusus bagi mereka yang jenuh dengan mobil antar-jemput shooting ala anak sekolah, agar semuanya bisa cepat sampai di rumah.


Syarat dan Ketentuan Berlaku:
  • Semua biaya transportasi tersebut di atas diambil dari keseluruhan biaya produksi yang dibayarkan oleh klien
  • Proses tawar menawar biaya produksi bisa mengurangi pelayanan transportasi khusus kami
  • Gangguan yang timbul saat pengambilan gambar karena permintaan tersebut di atas sehari sebelumnya tidak menjadi tanggung jawab PH, melainkan agency & klien yang bersangkutan
  • Penggunaan layanan kami secara berlebihan kepada staf agency junior bisa mengakibatkan ketidakstabilan dan arogansi sebelum waktunya dan tidak menjadi tanggung jawab PH
  • Ketidak seimbangan yang terjadi antara layanan transportasi bagus dan TVC yang jelek di luar tanggung jawab PH

Thursday, September 20, 2007

Bikin Klien (Beneran) Pintar

Kita selalu berkeluh kesah tentang klien. Yang begini, begitu, telat, makannya banyak, minta diantar jemput, blablablabla. Tentunya di angan ada sosok klien sempurna idaman agency dan PH. Entah siapa yang bisa mengedukasi klien sehingga pekerjaan kita jadi lebih mudah.

1. Jangan berharap 1 TVC bisa menyelesaikan semua masalah sales. Iklan tivi harus diperlukan sebagai bagian dari campaign yang menyeluruh. Iklan yang diproduksi adalah bagian dari strategi komunikasi demi mencapai tujuan tertentu. Karenanya perhatian utama klien mestinya adalah pesan yang disampaikan, dan bukan panjang pendek rok pemeran utama, atau warna baju yang tabrakan dengan dinding di sebelah sana.

2. Klien bekerja sama dengan advertising agency dan production house karena masing-masing mempunyai kompetensi khusus di bidangnya. Saat klien ingin turut campur menentukan angle, memilih warna, berarti mereka telah membuang uang. Kalau memang begitu, bukan lebih baik dikerjakan sendiri semuanya? Agency dan PH adalah profesional di bidangnya. Lensa kamera melihat dengan cara yang berbeda, terutama dengan kemajuan teknologi post-production.

3. Tentukan pesan yang ingin disampaikan dalam sebuah iklan tivi. Jangan menetapkan target komunikasi yang tidak realistis. Tidak mungkin 20 macam informasi bisa diterima dengan optimal dalam 30 detik. Jujurlah apabila merasa agency board tidak bisa menghantarkan pesan yang diinginkan, dan berharap 'keajaiban' terjadi pada proses produksi. 8 dari 10 kasus yang terjadi adalah kebalikannya. Akhirnya biaya produksi terbuang dan biaya beli media tersia-sia.

4. Perlakukan agency dan PH sebagai partner sejajar. Hanya karena anda yang membayar semua tagihan tidak berarti anda berhak memperlakukan orang seenaknya. Kontribusi maksimal akan terjadi bila semua pihak yang terlibat merasa berarti dan dihargai. Ucapan terima kasih, atau tepukan bisa menghasilkan senyuman dan rasa bangga yang membekas lama.

Wednesday, September 12, 2007

Salah Siapa Hayooo?

Salah siapa kalau kita shooting sampai pagi?? Jawaban yang sering terdengar biasanya, "Iya tuh kliennya gila... masa mendadak warna background set minta ganti. Akhirnya buang waktu 4 jam cuma nunggu set kering." Atau yang ini, "Namanya juga selebritis. Udah dateng telat 2 jam, make upnya lama banget lagi." Atau anda lebih sering ketemu yang model ini, "Namanya juga sutradara baru. Biasa masih suka main-main, nggak tahu maunya apa. Kita sih ikut aja, tapi lama-lama capek juga ya." Kalau yang ini mungkin agak lebih jarang terdengar, "Produsernya bego. Kerjaan kayak gini nge-quote cuma sehari, mana mungkin?"

Semua alasan di atas ada benarnya. Berbagai skenario bisa muncul saat shooting berlangsung. Karena kru Indonesia tidak bekerja berdasarkan aturan 8 atau 10 jam sehari, produser sering tergoda untuk meng-quote 1 hari panjang; yang tentunya tidak memberikan hasil maksimal karena semua orang sudah lelah dan tida bisa lagi memberikan yang terbaik. Produser yang seharusnya memberikan yang terbaik pada klien akhirnya hanya bisa memberikan hasil pas-pasan. Padahal seandainya budget untuk shooting 1 hari panjang sepadan dengan harga 2 hari shooting, bukankah 2 hari shooting bisa lebih efektif?

Problema yang biasa dihadapi produser adalah
1. Kru Thailand juga terbiasa shooting dengan hari panjang
2. Shooting sesuai aturan 10 jam di Singapura, Malaysia, Australia ataupun di USA lebih efektif daripada 16 jam di Thailand.

Kru Thailand terbiasa dengan jam kerja yang panjang karena kebiasaan sutradara dan DOP yang sangat detail dalam setting. Semua pihak yang terlihat dalam produksi di Thailand terbiasa shooting lewat dari tengah malam. Jadi, kalau di Indonesia dibutuhkan 2 hari untuk shooting produk yang sama, Thailand bisa memberikan 1 hari dengan budget regional yang tentunya tidak bisa disaingi.

Dilihat dari segi manapun, sangat jelas bahwa sumber daya manusia kita perlu ditingkatkan. Mulai dari kru yang harus lebih banyak bekerja daripada nongkrong tunggu dipanggil, sampai kepada sutradara muda yang suka main-main. Para sutradara muda yang sibuk membangun showreel, senang berksperimen. Pernah pada sebuah produksi ada 3 shotlist - untuk klien, agensi dan untuk sutradara. Keadaan ini bisa berubah, karena mulai ada klien yang hanya minta melihat versi yang "on-air" dalam reel seorang sutradara.

Agensi juga perlu menyadari bahwa untuk bisa menjadi sutradara dibutuhkan jam terbang yang tinggi di berbagai bidang produksi, dan bukan sekadar hasrat kreatif belaka. Tapi karena kelangkaan sumber daya manusia di Indonesia, seseorang yang punya hubungan baik dengan staf kreatif bisa dengan mudahnya mendapat kesempatan tanpa pengalaman matang.

Jadi?? Sekolah di produksi demi produksi, belajar lagi, belajar terus!!

Produser VS. Director

Produser yang baik dipercaya oleh sutradaranya, dan kebalikannya. Yang pasti produser itu bukan cuma seseorang yang bisa bahasa Inggris dan pandai mendelegasikan pekerjaan pada lusinan PA. Seorang produser yang baik, bisa membagi tugas dan mengecek pelaksaanan perintah tersebut. Kalau pengecekan tidak berlangsung baik, pasti bakal ada kejutan yang (biasanya...) tidak menyenangkan saat shooting.

Sutradara bergantung kepada produser agar kebutuhannya dapat dipenuhi dengan baik. Berbagai sarana pendukung harus dialokasikan dengan tepat untuk mencapai hasil optimum. Sutradara membutuhkan tuntunan dari produser agar bisa menggunakan sarana pendukung dengan efisien dan efektif.

Banyak sutradara sering berusaha menekan produser dengan shooting board yang bukan saja membutuhkan sarana pendukung lebih dri 150%, atas nama kreatifitas. Sebenarnya hal ini boleh saja, asalkan sutradara dan produser bisa mencapai kesepakatan dan keseimbangan antara kreatifitas dan budget.

Mencapai kesepakatan dan keseimbangan ini sangat penting karena kalau pendukung produksi ditekan terlalu jauh, ada kemungkinan semua bisa berantakan. Tim produksi stres setengah mati, lelah dan akhirnya tidak kerja maksimal selama shooting. Akhirnya cita2 kreatif segunung, segundukan pun tidak jadi. Klien kecewa, agensi sebal dan semua menderita. Sutradara yang model ini biasanya punya reputasi tersendiri, dan seringkali dihindari oleh kru ataupun agensi.

Tapi sutradara macam ini bisa diatasi apabila dilengkapi dengan produser yang baik; yang bisa menciptakan iklim saling menghormati dan saling mendengar. Bukan tidak mungkin seorang sutradara yang terkenal "sulit" bisa ditundukkan oleh produser dengan perencanaan matang. Produser yang bisa menunjukkan akal sehat, dan bukan sekadar mengatakan tidak karena ia yang punya duit.

Kembali lagi kuncinya ada di kerja sama. Produksi film adalah sebuah kerja tim, seperti organisme dengan ketergantungan tinggi demi hidupnya, sutradara dan produser punya kedudukan yang sama pentingnya. Jadi skearang tinggal pilih mau jadi yang mana? Produser atau sutradara??

Thursday, September 6, 2007

Bersama Melangkah Maju

Kembali lagi ke masalah asosiasi-asosiasi-an. Asosiasi PH melangkah ke depan dengan melaksanakan Kongres Pertama di Novotel, Bandung dan berhasil menghasilkan sebuah struktur organisasi, AD/ART dan Kode Etik. Boleh juga, mengingat semua peserta rata-rata orang sibuk. 27 dari 28 anggota hadir mewakili berbagai kepentingan, mulai dari PH besar, sedang maupun kecil. Mereka yang hadir menguasai sekitar 80% pasar produksi iklan di Indonesia, sisanya dibagi antara PH gurem yang hari ini ada lusa tiada. Perdebatan antar kepentingan terjadi namun kesepakatan dicapai juga.

Sebelum pelaksanaan kongres, konsep AD/ART telah disosialisasikan kepada anggota melalui beberapa rapat. Lucunya ketika saatnya tiba untuk mengesahkan, ada anggota yang hendak mulai dari nol dan menihilkan semua bentuk sosialisasi sebelumnya. Kenapa? Karena dia tidak hadir di rapat sebelumnya!!! Dengan alasan bahwa kongres adalah bentuk tertinggi dari organisasi, dan sebagainya dan sebagainya. Tidak bisa menghargai waktu yang sudah dicurahkan anggota lain yang sibuk di rapat sebelumnya. Mendadak dia lupa bagaimana rasanya saat final prepro ada klien yang sebelumnya tidak ikut meeting memberi komentar yang sudah pernah dibahas di meeting sebelumnya.

Hal lain yang tidak kalah menggelikan timbul mengenai debat bentuk Presidium dengan 5 anggota vs. 1 Ketua. Selain dari jabatan ketua yang terdengar bergengsi, tidak ada argumen positif lain yang mendukung wacana ini. Kebanyakan anggota setuju bahwa sebagai sesama orang sibuk, membagi tanggung jawab agar tugas tidak terbengkalai adalah lebih baik dan karenanya 5 anggota Presidium bisa bekerja bahu membahu. Apa mungkin ada anggota yang tidak sibuk mengurus PH-nya, dan ingin jadi Ketua mengurus PH-PH lain?

Adalah penting untuk diingat bahwa asosiasi ini dibentuk untuk kepentingan bersama. Sempat muncul ketakutan bahwa asosiasi ini hanya akan menguntungkan PH besar, namun harus disadari bahwa sebenarnya keuntungan paling besar akan diraih oleh PH kecil. Dengan dukungan PH besar yang mengatas namakan asosiasi PH, kepentingan PH kecil menjadi lebih terlindungi. Bargaining power menjadi milik bersama. Apalagi tim Presidium terpilih mewakili berbagai ukuran PH, sehingga semua pihak punya kesempatan bersuara.

Hal yang patut dicatat adalah minimnya perdebatan mengenai Kode Etik. Sebagian besar draft Kode Etik bisa diterima oleh semua pihak, yang secara tidak langsung mengatakan bahwa semua anggota punya nilai-nilai kepatutan yang kurang lebih sama. Kode Etik ini cukup komprehensif dalam mengatur dan memberikan rekomendasi. Meskipun ada usulan untuk lebih tegas, sebagian besar anggota merasa bahwa asosiasi ini masih butuh waktu. Bagaimanapun IPFI masih bayi.

Sebuah organisasi pasti menggambarkan habitatnya. Keributan yang timbul tentang PH besar/kecil di tampuk kekuasaan di awal mirip seperti negara kita sekarang ini. Begitu mudahnya kita merasa "dijajah" atau "dizalimi" saat ada orang/badan yang lebih sukses daripada kita. Lebih mudah untuk menyalahkan ketidak adilan sistem daripada berusaha lebih keras dan membuktikan diri. Mungkin ini akibat penjajahan sistematis jaman Belanda sampai era Orde Baru.

Yang penting akhirnya, IPFI telah lahir dan memiliki arah serta rencana kerja yang jelas. Semoga proses ini bisa jadi pembelajaran bagi kita semua menuju demokrasi sesungguhnya. Semoga tim Presidium bisa memberikan kerja nyata untuk kepentingan bersama; demi membuktikan bahwa mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan masih bisa dicapai.

Semoga.

Art Director Idaman

Seperti penggunaan bahasa Indonesia yang sering kali kurang baik dan benar, fungsi art director juga sering kali kurang baik dan benar. Daya tarik finansial dan emosional untuk terlibat dalam tim produksi iklan terkadang menghasilkan pekerja film yang asal jadi dan tidak berpengalaman. Karena kurangnya sumber daya manusia, dan sempitnya pengertian pihak-pihak yang terlibat dalam produksi mengakibatkan sebuah jabatan dalam tim produksi disepelekan.

Posisi art director, atau apapun juga, dianggap enteng; pekerjaan seorang art director 'disederhanakan' karena satu dan lain hal. Tanpa sadar, sebuah produksi menjadi korban inkompetensi anggota timnya.

Art Department merupakan bagian penting dari produksi. Sebuah tim art yang solid, dikomandani seorang art director, dilengkapi dengan prop masters handal bisa memberi nilai lebih (...atau kurang) pada sebuah produksi. Fungsi apakah yang seharusnya dijalankan seorang art director yang baik?
  • Seorang art director produksi harus menguasai seluk beluk produksi. Ia haruslah seorang kreatif yang bisa berinteraksi dengan director, bukan hanya mengenai mood/tone lewat referensi indah. Memahami proses produksi berarti mengerti bahwa warna yang digunakan sebuah gambar akan melalui proses colour grading di post production. Seorang art director yang kurang pengalaman (atau kurang komunikasi dengan directornya) bisa menghabiskan berjam-jam demi mendapatkan saturasi warna yang 'pas'; sesuatu yang bisa dicapai dengan mudah pada proses colour grading. Bukan berarti warna boleh asal jadi, tapi pemahaman ini bisa menjadi penyelamat saat krisis terjadi.
  • Pemahaman akan camera angle dan lensa juga diperlukan untuk menentukan besarnya set yang harus dibangun, atau ruangan yang harus didandani. Kita sering lupa kalau "mata" yang penting dalam pengambilan gambar adalah mata kamera, dan bukan mata kita. Yang menjadi perhatian haruslah gambar yang terlihat di kamera. Kalau kamera akan track, tentunya harus dilihat point awal dan akhir pergerakan kamera, dan pada titik mana set itu akan kelihatan.
  • Props bukan sekadar barang-barang untuk mengisi set, membuatnya kelihatan indah seperti layaknya dekor ruang pamer. Seorang art director yang baik bisa menjaga keseimbangan antara fungsi, estetika dan anggaran. Kesalahan yang umum terjadi bila sebuah prop harus fungsional, misalnya sebuah kereta raksasa yang harus didorong 10 orang. Pada saat seperti ini, seorag art director harus bisa menjadi insinyur (...atau bertanya pada seorang insinyur) supaya prop itu tidak hanya tampak indah, tapi bisa menjalankan fungsinya dengan baik.
  • Fungsi insinyur seni akan sangat terasa saat produksi iklan shampoo, atau apapun yang berhubungan dengan produk rig. Mulai dari bagaimana sebuah produk diposisikan untuk memperoleh sudut tercantik, sampai membuat air terjun maha dashyat yang menyiram botol shampoo tanpa membuatnya terjungkal.
Kalau sudah begini, pengetahuan fisika dasar yang akan bicara, ditambah dengan akal sehat dan eksperimen (sebelum shooting) bersama dengan DOP dan director. DOP harus tahu disain dan teknis rig yang akan digunakan karena ia tahu lensa yang akan digunakan, kemungkinan posisi lampu, cutter dan lain-lain. Akal sehat yang sederhana mesti digunakan. Belum lagi kalau rig yang mesti digunakan membutuhkan kaca. Refleksinya! Aduh! Yang pusing bukan hanya art department, tapi juga DOP dan lighting.

Rig yang terkenal bikin pusing adalah rig untuk air. Pengalaman shooting di Amerika atau di Australia selalu mengesankan, karena semua rig yang digunakan telah melalui tes dan merupakan perwujudan engineering yang sesungguhnya.

Karena itu penting untuk dimengerti bahwa seorang Art Director/Production Designer bukan hanya punya selera yang bagus, dan pengetahuan warna yang di atas rata-rata. Ia juga harus punya akal sehat dan logika dalam bekerja dan mendisain. Kalau semua art director punya kemampuan yang komplet, semua art director akan jadi idaman. Mungkin APFII bisa menjembatani pelatihan dan meningkatkan kualitas art department kita. Susah memang, karena meski sederhana, akal sehat itu termasuk benda langka.