Kembali lagi ke masalah asosiasi-asosiasi-an. Asosiasi PH melangkah ke depan dengan melaksanakan Kongres Pertama di Novotel, Bandung dan berhasil menghasilkan sebuah struktur organisasi, AD/ART dan Kode Etik. Boleh juga, mengingat semua peserta rata-rata orang sibuk. 27 dari 28 anggota hadir mewakili berbagai kepentingan, mulai dari PH besar, sedang maupun kecil. Mereka yang hadir menguasai sekitar 80% pasar produksi iklan di Indonesia, sisanya dibagi antara PH gurem yang hari ini ada lusa tiada. Perdebatan antar kepentingan terjadi namun kesepakatan dicapai juga.
Sebelum pelaksanaan kongres, konsep AD/ART telah disosialisasikan kepada anggota melalui beberapa rapat. Lucunya ketika saatnya tiba untuk mengesahkan, ada anggota yang hendak mulai dari nol dan menihilkan semua bentuk sosialisasi sebelumnya. Kenapa? Karena dia tidak hadir di rapat sebelumnya!!! Dengan alasan bahwa kongres adalah bentuk tertinggi dari organisasi, dan sebagainya dan sebagainya. Tidak bisa menghargai waktu yang sudah dicurahkan anggota lain yang sibuk di rapat sebelumnya. Mendadak dia lupa bagaimana rasanya saat final prepro ada klien yang sebelumnya tidak ikut meeting memberi komentar yang sudah pernah dibahas di meeting sebelumnya.
Hal lain yang tidak kalah menggelikan timbul mengenai debat bentuk Presidium dengan 5 anggota vs. 1 Ketua. Selain dari jabatan ketua yang terdengar bergengsi, tidak ada argumen positif lain yang mendukung wacana ini. Kebanyakan anggota setuju bahwa sebagai sesama orang sibuk, membagi tanggung jawab agar tugas tidak terbengkalai adalah lebih baik dan karenanya 5 anggota Presidium bisa bekerja bahu membahu. Apa mungkin ada anggota yang tidak sibuk mengurus PH-nya, dan ingin jadi Ketua mengurus PH-PH lain?
Adalah penting untuk diingat bahwa asosiasi ini dibentuk untuk kepentingan bersama. Sempat muncul ketakutan bahwa asosiasi ini hanya akan menguntungkan PH besar, namun harus disadari bahwa sebenarnya keuntungan paling besar akan diraih oleh PH kecil. Dengan dukungan PH besar yang mengatas namakan asosiasi PH, kepentingan PH kecil menjadi lebih terlindungi. Bargaining power menjadi milik bersama. Apalagi tim Presidium terpilih mewakili berbagai ukuran PH, sehingga semua pihak punya kesempatan bersuara.
Hal yang patut dicatat adalah minimnya perdebatan mengenai Kode Etik. Sebagian besar draft Kode Etik bisa diterima oleh semua pihak, yang secara tidak langsung mengatakan bahwa semua anggota punya nilai-nilai kepatutan yang kurang lebih sama. Kode Etik ini cukup komprehensif dalam mengatur dan memberikan rekomendasi. Meskipun ada usulan untuk lebih tegas, sebagian besar anggota merasa bahwa asosiasi ini masih butuh waktu. Bagaimanapun IPFI masih bayi.
Sebuah organisasi pasti menggambarkan habitatnya. Keributan yang timbul tentang PH besar/kecil di tampuk kekuasaan di awal mirip seperti negara kita sekarang ini. Begitu mudahnya kita merasa "dijajah" atau "dizalimi" saat ada orang/badan yang lebih sukses daripada kita. Lebih mudah untuk menyalahkan ketidak adilan sistem daripada berusaha lebih keras dan membuktikan diri. Mungkin ini akibat penjajahan sistematis jaman Belanda sampai era Orde Baru.
Yang penting akhirnya, IPFI telah lahir dan memiliki arah serta rencana kerja yang jelas. Semoga proses ini bisa jadi pembelajaran bagi kita semua menuju demokrasi sesungguhnya. Semoga tim Presidium bisa memberikan kerja nyata untuk kepentingan bersama; demi membuktikan bahwa mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan masih bisa dicapai.
Semoga.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment