Thursday, December 20, 2007

Hibernasi APFII

APFII sekarat kita sudah lama dengar. APFII mati gaya itu berita yang sudah tidak pernah dibicarakan lagi. APFII dibekukan karena kurang dana? Itu berita lama yang patut jadi pemikiran bersama.

Banyak orang punya ide brilian, tapi hanya mereka yang punya ketekunanlah yang bisa membuatnya menjadi besar. Seringkali 'ide bagus' itu over-rated dan akhirnya hanya tinggal jadi kenangan. Sebagai sebuah ide, terbentuknya APFII merupakan sebuah cetusan brilian. Meskipun dianggap agak terlambat, banyak pihak menyambut APFII dengan gembira. Tiba-tiba banyak hal yang selama ini menjadi mimpi para pekerja film Indonesia, punya sarana untuk mungkin menjadi kenyataan.

Tapi apa yang terjadi selama 2 tahun mulai dari lahirnya APFII, hingga saatnya ia mati suri? Dimana salahnya? Mengapa sebuah ide mulia bisa berakhir begitu saja? Ada beberapa hal yang patut dicatat:

1. Tujuan Pendirian Asosiasi
Terlepas dari rangkuman kata-kata indah tujuan lahirnya APFII, sebuah organisasi harus mempunyai rencana nyata dalam rangka mencapai tujuannya. Tujuan harus dilihat sebagai rencana jangka panjang dengan pelaksanaan bertahap.

Saat berbicara dengan beberapa orang anggota APFII, tidak ada koherensi jawaban mengenai tujuan dan langkah nyata organisasi ini. Ada pelatihan, ada pencanangan peraturan demi melindungi tenaga kerja dalam negeri, semuanya tumpang tindih tanpa kematangan pemikiran.

2. Realita di Lapangan
Tenaga kerja perfilman Indonesia sudah terlalu lama berjalan sendiri tanpa aturan. Tidak ada standar harga, tidak ada jam kerja. Semua pekerja adalah tuan bagi dirinya sendiri. Asas keadilan yang dipakai adalah asas adil kala menguntungkan. Regulasi menuntut sebuah standard dan komitment kepatuhan; keduanya harus berjalan seiring. Proteksi jam kerja maksimum tidak bisa dijalankan apabila pekerja tidak mau dikenakan standarisasi harga. Standarisasi harga tidak akan diterima apabila pekerja tidak mendapat keuntungan dari padanya.

3. Waktu
Seringkali kita lupa bahwa ide brilian membutuhkan waktu. Sama seperti ide bagus dari agensi yang terpaksa dieksekusi dengan 'begitu-begitu saja' karena kendala waktu. Kultur 'fast-food' serba instan, tanpa sadar dijadikan patokan. Proses tidak lagi dilihat sebagai pembelajaran, tapi hanya sebagai waktu yang terbuang tanpa hasil.

Tulisan ini bukanlah kritik atas tim APFII yang selama ini sudah bekerja keras melakukan sesuatu. Bagaimanapun, inisiatif mereka perlu diacungi jempol. Organisasi ini toh belum mati, hanya tidur sementara mengumpulkan energi. Seperti layaknya beruang kutub yang mampu mengkondisikan dirinya dalam hibernasi, mudah-mudahan waktu tidur panjang ini sekaligus menjadi proses belajar bersama dalam kerendahan hati, untuk mencapai utopia bagi semua pekerja film Indonesia. Tanpa pretensi dan tanpa agenda tersembunyi.

=======================================

Baru dengar berita APFII, Asosiasi Perkerja Film Iklan Indonesia, segera sebagai status non aktif. Berikut adalah email.
-------

Rekan pengurus, & stock holder perintis organisasi

Sebagaimana diketahui angka kas APFII terus defisit, selama 2 tahun ini kita memakai sisa uang hasil konggres untuk biaya operasional dan over head cost sejumlah kurang lebih 4 juta per bulan ( tidak termasuk biaya sewa kantor dan peralatan inventaris - yang merupakan sumbangan saya pribadi ).
Adapun iuran anggota sudah habis untuk asuransi dan sedikit penambalan biaya gaji sdr. "H" sebagai tenaga sekretariat. Sebagai info terakhir dari Bendahara, sdr. "I", laporan kas tinggal kurang lebih 5 juta rupiah.

Projection tahun depan, saya merencanakan pindah kantor ke tempat yang lebih murah, dengan perincian :
- Mencari kontrakan dengan biaya antara 25 - 30 juta setahun.
- Biaya operasional tetap 4 - 5 juta setahun.
Dan selama 2 bulan terakhir saya mencoba menggali fund raising,namun sejauh ini hanya ada kontribusi dari saudara-saudara "I2", "L", "T" dan "H2" dengan total Rp 20 juta. Memang sesuatu yang tidak bisa dipaksakan.

Bulan Januari sewa kantor sudah habis, dan karena satu alasan saya tidak bisa lagi menanggung beban sewa kantor secara pribadi.
Untuk itu dengan sangat menyesal saya harus membekukan organisasi yang kita cintai sampai dengan waktu yang tidak ditentukan. Untuk sementara dana talangan sebesar 20 juta akan saya simpan di rekening APFII.
Bendahara dalam waktu dekat akan bekerja sama dengan auditor sumbangan rekan sdr "H3" untuk mengeluarkan laporan yang sudah bisa dilihat awal bulan Januari.

Mohon maaf jika keputusan saya seolah membuat semangat yang selama ini kita kumandangkan menjadi surut. Bagaimanapun kita tidak bisa naive bahwa menjalankan organisasi butuh dana. Seperti pepatah jawa Jer Basuki Mawa Bea

Maju APFII


teriring salam

Sunday, November 25, 2007

Bagaimana Bisa Bersaing?

Dalam kesempatan untuk berkompetisi untuk sebuah job regional, terlihat bahwa biaya produksi TVC di Indonesia adalah salah satu yang tertinggi dibandingkan dengan Malaysia, Singapura dan Thailand. Pikiran pertama yang muncul adalah, "Tidak mungkin! Sumber daya manusia dan biaya hidup lebih murah di Indonesia daripada negara2 tersebut di atas!" Salah besar. Kru film Indonesia adalah salah satu yang termahal di antara negara ASEAN.

Kok bisa?? Masalah utama produksi di Indonesia adalah penggunaan konsep "Padat Karya" - alias gotong royong; semuanya cenderung dilakukan beramai-ramai. Rejeki dibagi ramai-ramai, demi kesejahteraan ramai-ramai. Ya, shooting juga akhirnya ramai-ramai. Masih bingung? Silakan lihat pemaparan di bawah ini.

Art Department
Untuk sebuah shooting di Thailand, biasanya hanya dibutuhkan 4 orang kru art department. Di sini, minimal ada 6-8 orang, mulai dari runner hingga prop master. Fee per orang pun lebih tinggi daripada Thailand.

Belum lagi kalau set yang digunakan besar. Bisa ditemukan 15-20 orang anggota set builder tidur selama shooting berlangsung, di belakang set yang mereka bangun. Judulnya sih standy-by, kalau-kalau ada perubahan set mendadak ataupun perlu menggeser set.

Lighting
Di Malaysia dan Singapura, sebuah produksi cukup menggunakan 1 orang Gaffer dan 2-3 Best Boys. Indonesia hanya memiliki sedikit Gaffer sungguhan, sehingga dibutuhkan kru lebih banyak. Kalau lampu yang digunakan lebih besar, meski jumlah lebih sedikit, krunya harus lebih banyak. Atas dasar gotong royong ini, seorang "Chief" jarang mendelegasikan pekerjaan, dan lebih sering mengerjakan semua sendiri. Anak buah yang malas tinggal duduk dan ngopi, sementara "Chief" mengumpat sendirian.

Transportasi dan Konsumsi
Tentunya semua orang banyak ini perlu diberi makan dan tumpangan kendaraan. Biaya untuk sewa mobil dan makanan pun semakin bertambah.

Biaya Tersembunyi
Semakin banyak orang yang terlibat dalam sebuah produksi pasti akan menambah komponen biaya tersembunyi yang harus ditanggung. Kemungkinan mark up meningkat, biaya rokok dan makan siang selama persiapan pun semakin menggelembung.

Indonesia adalah negara dengan 220 juta penduduk yang diberkati dengan lokasi indah dan banyak lagi. Apa yang akan terjadi bila Indonesia memasuki pasar bebas? Bagaimana PH lokal bisa bersaing dengan rekannya di pasar regional bila keadaan seperti ini terus berlangsung? Apa yang harus kita lakukan untuk menyongsong masa depan persaingan bebas? Apakah Indonesia akan semakin tertinggal di kancah penghargaan internasional?

Waktunya bertindak.

Wednesday, November 21, 2007

SPESIES PRODUSER AGENSI

Mengamati berbagai tipe produser agensi bisa jadi sangat menarik. Beberapa saat yang lalu ada anak magang di kantor yang menanyakan perbedaan antara berbagai agensi produser. Setelah mengerutkan kening sesaat dan membayangkan bermacam karakter, muncul daftar di bawah ini.

TIPE I: PASIF
Agensi produser tipe yang satu ini tipikal pekerja kantor ala bank teng-go. Begitu teng, langsung go. Mereka selalu hadir setiap hari namun tanpa inisiatif. Sepanjang hari mereka hanya menanti order, baik dari PH, kreatif ataupun dari departemen lainnya. Jangan berharap mendapatkan kontribusi dari tipe satu ini selama pra-produksi. Agensi produser tipe I menerima teguran, atau amarah dengan senang hati. Mereka tidak takut dipecat karena tidak kompeten, karena mereka tahu bahwa masa kerja mereka yang sudah lama akan menghasilkan pesangon yang berlimpah.

TIPE II: CONTROL FREAK
Tipe II ini bisa membuat hidup menjadi pekerjaan lebih teratur dan lebih terencana karena mereka HARUS tahu segala sesuatu. Namun sebagai kompensasi, bersiaplah menerima minimal 10 SMS setiap hari dan telepon yang bertubi-tubi. Jangan sampai client service berhubungan langsung dengan PH, karena manusia tipe ini bisa loncat dan ngamuk-ngamuk karena merasa dilangkahi. Berharap saja bertemu agensi produser tipe II yang punya kecerdasan tinggi, karena ia akan selalu siap menghadapi segala sesuatu dan tidak akan menyerah pada 'nasib'.

TIPE III: COMPLAIN MASTER
Pekerjaan utama mereka adalah mengeluh. Mulai dari klien yang selalu terlambat membayar agensi, kelakuan anak kreatif yang manja, sampai ketidak adaan tukang pijit di lokasi shooting yang nun jauh di sana. Kebanyakan dari mereka punya masalah pribadi dan selalu menyalahkan situasi, dan kondisi sekeliling mereka. Hidup mereka selalu dikesankan teraniaya dan menderita. Mereka senang menempatkan diri sebagai korban. Mereka tidak suka disalahkan. Kalau terlambat datang meeting, PH salah karena tidak mengingatkan. Huh?

Kalau SMS mereka tidak dibalas, mereka pasti mengeluh juga. Pada saat shooting, mereka lah yang pertama mengeluh kalau pengambilan gambar tidak dimulai sesuai call sheet; tanpa peduli bahwa keterlambatan disebabkan oleh klien yang tidak bisa memutuskan warna wardrobe.

TIPE IV: SI SUPER PAYAH
Punya agensi produser tipe IV berarti sama saja dengan tidak punya agensi produser. Sama seperti rekan-rekan Tipe I, mereka hanyalah kurir pesan yang tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Bedanya mereka peduli untuk tidak dipecat, sehingga mereka berusaha untuk 'sok mengerti dan peduli' . Hal ini malah menciptakan kebingungan untuk semua pihak.

TIPE V: SI RAKUS
Mereka yang masuk kategori ini paling menyebalkan untuk diajak bekerja sama. Motto hidup mereka adalah "Kerja sedikit, untung banyak." Ini mulai dari mendapatkan komisi besar dari job budget kecil, minta makan 6 kali sehari saat shooting day (mulai dari FjL, sushi sampai Haagen Dazs), sampai mengharapkan PH membayar belanjaan kala post di luar negeri.

TIPE VI: SANG PELINDUNG
Agensi tipe sang pelindung punya tujuan mulia, setidaknya dalam pikiran mereka. Tapi prakteknya sering menghambat produksi dan mengecilkan proses pra-produksi. Mereka sangat melindungi 'ide agensi' atau 'kepentingan klien' dengan segala cara. Mereka akan membiarkan agensi berdebat 1 jam untuk sebuah komentar dari klien sementara sutradara dan kru duduk bengong menunggu keputusan mereka, supaya bisa kembali kerja. Bersiaplah untuk proses post yang panjang karena atas nama 'demokrasi', agensi produser tipe ini akan keliling ruangan untuk mengumpulkan komentar dari semua anggota tim, walaupun dipaksakan.

TIPE VII: THE BEST
Seperti banyak area dalam industri ini yang butuh sumber daya manusia, agensi produser tipe VI sangatlah langka. Dibutuhkan campuran dengan dosis tepat antara CONTROL FREAK dan SANG PELINDUNG, ditambah dengan sifat masuk akal, pengetahuan teknis dan integritas. Agensi Produser Terbaik bisa mengatur harmoni antara realita budget dan ekspektasi tim kreatif dan harapan klien. Ia juga bisa melindungi kepentingan agensi dari PH yang ingin coba-coba mengambil jalan pintas. Ia punya pengetahuan teknis yang cukup untuk bisa mengemudikan laju komentar yang tidak seharusnya pada proses produksi yang tidak tepat; komentar untuk pilihan senyum talent yang dilontarkan saat online, bisa dikoreksi untuk menghindari pemborosan waktu.

Menurut anda, tipe mana yang paling sering ditemui?

Thursday, September 27, 2007

Jadi Supplier Pilihan

Beberapa tahun dimulailah sebuah trend baru yaitu "Supplier Pilihan". Klien besar seperti Unilever menghabiskan banyak uang untuk produksi TVC. Meskipun bekerja dengan beberapa agensi yang berbeda, ada PH-PH yang kerap muncul sebagai supplier utama. Lalu timbul ide untuk terus bekerja dengan beberapa PH yang sama ini; hingga terciptalah sebuah daftar. Dengan bekerja dengan supplier yang sama, klien mengharapkan "bulk discount" atau "rebate" pada akhir tahun.

Ide ini sebenarnya bagus dan bisa jadi saling menguntungkan untuk agensi, klien dan PH, namun pada prakteknya status "pilihan" ini hanya sekadar tulisan di atas kertas. Program seperti ini hanya bisa berjalan apabila klien dan agensi bersedia memberi komitmen jumlah volume pekerjaan yang diberikan selama setahun. Termasuk dalam daftar supplier pilihan tidak akan ada gunanya kalau selama setahun, PH hanya dapat job sesekali.

Itulah kenyataan yang terjadi. Setelah berbangga bisa masuk dalam "daftar supplier pilihan" (karena tidak mudah dan harus membuktikan kualitas standar produksi yang baik), PH sering kecewa karena ternyata mereka yang tidak masuk dalam daftar pun bisa pitching dan malah mendapatkan job. Mungkin ini sebabnya jarang ada PH yang menganggap "daftar supplier pilihan" ini sesuatu yang serius.

Di akhir tahun program ini malah jadi beban departemen akunting, karena harus menyiapkan dokumen khusus untuk rebate dan diskon. Belum lagi kalau ternyata pembayaran masih nyangkut sana sini. Bagaimana mau memberi rebate, kalau sebenarnya masih banyak piutang yang belum terbayarkan? Kenapa PH harus repot memberi diskon untuk sedikit job yang bayarnya telat? Lebih baik tidak masuk daftar pilihan tapi tidak punya beban seperti yang disebut di atas!

Mungkin ini jadinya kalau agensi akhirnya hanya menjadi broker pekerjaan. Sebuah degradasi posisi yang menyedihkan. Sebuah "agensi" mestinya menjadi "agen" - posisi yang punya hak, kewajiban dan tanggung jawab. "Broker" hanyalah sekadar "perantara" - posisi yang lepas dari tanggung jawab apapun dan karena itu memiliki imbalan yang jauh lebih kecil daripada sebuah "agen".

Apabila agensi serius menerapkan Program Supplier Pilihan, ada langkah-langkah yang harus dibenahi:
1. Menjadi "pilihan" haruslah bisa dibanggakan
2. Setiap PH akan ingin menjadi "pilihan" apabila ada semacam eksklusivitas yang terkandung di dalamnya. Setiap job hanya akan di-pitch kepada PH yang telah mendapat status "pilihan". Persaingan antara mereka yang "terpilih" menjadi adil.
3. Kalau proses pitching melibatkan mereka yang bukan "pilihan", berarti ada ketidak adilan karena PH yang bukan "pilihan" tidak berkewajiban memberikan diskon di akhir tahun.
4. Proses pembayaran harus jelas. PH harus sudah menerima seluruh pembayaran untuk semua job yang berjalan, meskipun agensi memberikan perpanjangan waktu pembayaran pada klien.

Sampai berapa seriuskah agensi dan klien dengan program ini? Kita lihat bersama.

Tuesday, September 25, 2007

Mengenang Masa Lalu

Katanya hanya orang tua yang suka mengenang masa lalu. Dimana semuanya terasa lebih indah, lebih menyenangkan, lebih efisien tanpa ada yang tahu apakah memori itu nyata atau sekedar romantisme semata. Beberapa saat yang lalu, saya bertemu dengan seorang produser senior, yang sudah berkecimpung di industri ini lebih dari 20 tahun. Pembicaraan kami tanpa sadar bergerak mundur ke masa lalu...

Q: Sori Bang, ini ada agensi minta ketemu mendadak mau nge-brief. Ada-ada saja, jam segini baru minta meeting suruh masukin quotation jam 8 pagi besok. Memangnya bikin quotation tinggal merem? Dia mau aku nggak tidur kali!

A: Iya, memang sekarang agency suka kasih brief seenaknya. Dulu biasanya kita terima brief tertulis lengkap dengan informasi tentang brand, target market, strategi yang sudah dijalankan, tujuan yang hendak dicapai untuk TVC yang satu ini. Kita juga diberikan info tentang kompetitor, latar belakang kreatif, juga benang merah strategi perusahaan keseluruhan.

Q: Wah, enak banget? Jadi kita mikirnya nggak asal siapa yang ada schedule aja ya?

A: Iya! Kita approach director juga lebih enak, karena informasinya lengkap. Director tinggal mikir enaknya board ini mau diapain, paling mentok telpon2an sama creative director dan tim kreatif. Dari ngobrol singkat saja, agency bisa punya bayangan, kira-kira director ini nyambung atau enggak dengan ide yang ingin disampaikan. Nggak kayak sekarang, sedikit-sedikit suruh director bikin treatment.

Q: Itu memang paling menyebalkan. Padahal kita juga tahu kalau kita ini cuma dijadikan perbandingan saja. Kan nggak enak sama director. Belum kalau mereka ditanya budget klien dan jawabannya, unlimited deh. Nggak mungkin!!! Mana ada??

A: Betul itu! Dulu kita selalu mendapat indikasi budget. Kalau nominalnya jelas, director juga punya batasan berpikir secara kreatif, dan kita juga tahu alokasi tim produksi seperti apa. Klien malah seharusnya lebih untung karena berarti anggarannya dihabiskan dengan seefisien mungking tanpa membuang-buang waktu, tawar menawar, ganti director karena budget nggak cukup.

Q: Iya, sayang sekali semuanya sudah tidak dilakukan sekarang. Dulu ya, Bang? Dulu?!

Pembicaran terhenti. Kami berdua diam terpekur menatap kepulan asap yang keluar dari mulut masing-masing.


Penggambaran 'dulu' ternyata memang lebih indah. Kapan ya 'dulu' berubah jadi 'sekarang'?

PLATINUM BIRD

Moda Transportasi Khusus Agency/Client
1-800-9867-74

1. Kami melayani penjemputan di mana saja dan ke mana saja, selama klien bisa hadir shooting, meskipun sebelumnya klien sedang ada meeting di kantor cabang Bogor.

2. Kami melayani penjemputan bagi agency yang sulit bangun pagi sesuai call time. Waktu penjemputan bisa diatur; silakan hubungi unit manager kami.

3. Kami melayani transportasi agar agency bisa hadir ke meeting job lainnya, dengan PH yang berbeda, dan mengembalikannya kembali ke lokasi shooting setelah meeting usai.

4. Kami melayani penghantaran agency dan klien sampai ke rumah masing-masing setelah shooting selesai, jam berapa saja, ke mana saja.

5. Kami melayani penghantaran khusus bagi mereka yang jenuh dengan mobil antar-jemput shooting ala anak sekolah, agar semuanya bisa cepat sampai di rumah.


Syarat dan Ketentuan Berlaku:
  • Semua biaya transportasi tersebut di atas diambil dari keseluruhan biaya produksi yang dibayarkan oleh klien
  • Proses tawar menawar biaya produksi bisa mengurangi pelayanan transportasi khusus kami
  • Gangguan yang timbul saat pengambilan gambar karena permintaan tersebut di atas sehari sebelumnya tidak menjadi tanggung jawab PH, melainkan agency & klien yang bersangkutan
  • Penggunaan layanan kami secara berlebihan kepada staf agency junior bisa mengakibatkan ketidakstabilan dan arogansi sebelum waktunya dan tidak menjadi tanggung jawab PH
  • Ketidak seimbangan yang terjadi antara layanan transportasi bagus dan TVC yang jelek di luar tanggung jawab PH

Thursday, September 20, 2007

Bikin Klien (Beneran) Pintar

Kita selalu berkeluh kesah tentang klien. Yang begini, begitu, telat, makannya banyak, minta diantar jemput, blablablabla. Tentunya di angan ada sosok klien sempurna idaman agency dan PH. Entah siapa yang bisa mengedukasi klien sehingga pekerjaan kita jadi lebih mudah.

1. Jangan berharap 1 TVC bisa menyelesaikan semua masalah sales. Iklan tivi harus diperlukan sebagai bagian dari campaign yang menyeluruh. Iklan yang diproduksi adalah bagian dari strategi komunikasi demi mencapai tujuan tertentu. Karenanya perhatian utama klien mestinya adalah pesan yang disampaikan, dan bukan panjang pendek rok pemeran utama, atau warna baju yang tabrakan dengan dinding di sebelah sana.

2. Klien bekerja sama dengan advertising agency dan production house karena masing-masing mempunyai kompetensi khusus di bidangnya. Saat klien ingin turut campur menentukan angle, memilih warna, berarti mereka telah membuang uang. Kalau memang begitu, bukan lebih baik dikerjakan sendiri semuanya? Agency dan PH adalah profesional di bidangnya. Lensa kamera melihat dengan cara yang berbeda, terutama dengan kemajuan teknologi post-production.

3. Tentukan pesan yang ingin disampaikan dalam sebuah iklan tivi. Jangan menetapkan target komunikasi yang tidak realistis. Tidak mungkin 20 macam informasi bisa diterima dengan optimal dalam 30 detik. Jujurlah apabila merasa agency board tidak bisa menghantarkan pesan yang diinginkan, dan berharap 'keajaiban' terjadi pada proses produksi. 8 dari 10 kasus yang terjadi adalah kebalikannya. Akhirnya biaya produksi terbuang dan biaya beli media tersia-sia.

4. Perlakukan agency dan PH sebagai partner sejajar. Hanya karena anda yang membayar semua tagihan tidak berarti anda berhak memperlakukan orang seenaknya. Kontribusi maksimal akan terjadi bila semua pihak yang terlibat merasa berarti dan dihargai. Ucapan terima kasih, atau tepukan bisa menghasilkan senyuman dan rasa bangga yang membekas lama.

Wednesday, September 12, 2007

Salah Siapa Hayooo?

Salah siapa kalau kita shooting sampai pagi?? Jawaban yang sering terdengar biasanya, "Iya tuh kliennya gila... masa mendadak warna background set minta ganti. Akhirnya buang waktu 4 jam cuma nunggu set kering." Atau yang ini, "Namanya juga selebritis. Udah dateng telat 2 jam, make upnya lama banget lagi." Atau anda lebih sering ketemu yang model ini, "Namanya juga sutradara baru. Biasa masih suka main-main, nggak tahu maunya apa. Kita sih ikut aja, tapi lama-lama capek juga ya." Kalau yang ini mungkin agak lebih jarang terdengar, "Produsernya bego. Kerjaan kayak gini nge-quote cuma sehari, mana mungkin?"

Semua alasan di atas ada benarnya. Berbagai skenario bisa muncul saat shooting berlangsung. Karena kru Indonesia tidak bekerja berdasarkan aturan 8 atau 10 jam sehari, produser sering tergoda untuk meng-quote 1 hari panjang; yang tentunya tidak memberikan hasil maksimal karena semua orang sudah lelah dan tida bisa lagi memberikan yang terbaik. Produser yang seharusnya memberikan yang terbaik pada klien akhirnya hanya bisa memberikan hasil pas-pasan. Padahal seandainya budget untuk shooting 1 hari panjang sepadan dengan harga 2 hari shooting, bukankah 2 hari shooting bisa lebih efektif?

Problema yang biasa dihadapi produser adalah
1. Kru Thailand juga terbiasa shooting dengan hari panjang
2. Shooting sesuai aturan 10 jam di Singapura, Malaysia, Australia ataupun di USA lebih efektif daripada 16 jam di Thailand.

Kru Thailand terbiasa dengan jam kerja yang panjang karena kebiasaan sutradara dan DOP yang sangat detail dalam setting. Semua pihak yang terlihat dalam produksi di Thailand terbiasa shooting lewat dari tengah malam. Jadi, kalau di Indonesia dibutuhkan 2 hari untuk shooting produk yang sama, Thailand bisa memberikan 1 hari dengan budget regional yang tentunya tidak bisa disaingi.

Dilihat dari segi manapun, sangat jelas bahwa sumber daya manusia kita perlu ditingkatkan. Mulai dari kru yang harus lebih banyak bekerja daripada nongkrong tunggu dipanggil, sampai kepada sutradara muda yang suka main-main. Para sutradara muda yang sibuk membangun showreel, senang berksperimen. Pernah pada sebuah produksi ada 3 shotlist - untuk klien, agensi dan untuk sutradara. Keadaan ini bisa berubah, karena mulai ada klien yang hanya minta melihat versi yang "on-air" dalam reel seorang sutradara.

Agensi juga perlu menyadari bahwa untuk bisa menjadi sutradara dibutuhkan jam terbang yang tinggi di berbagai bidang produksi, dan bukan sekadar hasrat kreatif belaka. Tapi karena kelangkaan sumber daya manusia di Indonesia, seseorang yang punya hubungan baik dengan staf kreatif bisa dengan mudahnya mendapat kesempatan tanpa pengalaman matang.

Jadi?? Sekolah di produksi demi produksi, belajar lagi, belajar terus!!

Produser VS. Director

Produser yang baik dipercaya oleh sutradaranya, dan kebalikannya. Yang pasti produser itu bukan cuma seseorang yang bisa bahasa Inggris dan pandai mendelegasikan pekerjaan pada lusinan PA. Seorang produser yang baik, bisa membagi tugas dan mengecek pelaksaanan perintah tersebut. Kalau pengecekan tidak berlangsung baik, pasti bakal ada kejutan yang (biasanya...) tidak menyenangkan saat shooting.

Sutradara bergantung kepada produser agar kebutuhannya dapat dipenuhi dengan baik. Berbagai sarana pendukung harus dialokasikan dengan tepat untuk mencapai hasil optimum. Sutradara membutuhkan tuntunan dari produser agar bisa menggunakan sarana pendukung dengan efisien dan efektif.

Banyak sutradara sering berusaha menekan produser dengan shooting board yang bukan saja membutuhkan sarana pendukung lebih dri 150%, atas nama kreatifitas. Sebenarnya hal ini boleh saja, asalkan sutradara dan produser bisa mencapai kesepakatan dan keseimbangan antara kreatifitas dan budget.

Mencapai kesepakatan dan keseimbangan ini sangat penting karena kalau pendukung produksi ditekan terlalu jauh, ada kemungkinan semua bisa berantakan. Tim produksi stres setengah mati, lelah dan akhirnya tidak kerja maksimal selama shooting. Akhirnya cita2 kreatif segunung, segundukan pun tidak jadi. Klien kecewa, agensi sebal dan semua menderita. Sutradara yang model ini biasanya punya reputasi tersendiri, dan seringkali dihindari oleh kru ataupun agensi.

Tapi sutradara macam ini bisa diatasi apabila dilengkapi dengan produser yang baik; yang bisa menciptakan iklim saling menghormati dan saling mendengar. Bukan tidak mungkin seorang sutradara yang terkenal "sulit" bisa ditundukkan oleh produser dengan perencanaan matang. Produser yang bisa menunjukkan akal sehat, dan bukan sekadar mengatakan tidak karena ia yang punya duit.

Kembali lagi kuncinya ada di kerja sama. Produksi film adalah sebuah kerja tim, seperti organisme dengan ketergantungan tinggi demi hidupnya, sutradara dan produser punya kedudukan yang sama pentingnya. Jadi skearang tinggal pilih mau jadi yang mana? Produser atau sutradara??

Thursday, September 6, 2007

Bersama Melangkah Maju

Kembali lagi ke masalah asosiasi-asosiasi-an. Asosiasi PH melangkah ke depan dengan melaksanakan Kongres Pertama di Novotel, Bandung dan berhasil menghasilkan sebuah struktur organisasi, AD/ART dan Kode Etik. Boleh juga, mengingat semua peserta rata-rata orang sibuk. 27 dari 28 anggota hadir mewakili berbagai kepentingan, mulai dari PH besar, sedang maupun kecil. Mereka yang hadir menguasai sekitar 80% pasar produksi iklan di Indonesia, sisanya dibagi antara PH gurem yang hari ini ada lusa tiada. Perdebatan antar kepentingan terjadi namun kesepakatan dicapai juga.

Sebelum pelaksanaan kongres, konsep AD/ART telah disosialisasikan kepada anggota melalui beberapa rapat. Lucunya ketika saatnya tiba untuk mengesahkan, ada anggota yang hendak mulai dari nol dan menihilkan semua bentuk sosialisasi sebelumnya. Kenapa? Karena dia tidak hadir di rapat sebelumnya!!! Dengan alasan bahwa kongres adalah bentuk tertinggi dari organisasi, dan sebagainya dan sebagainya. Tidak bisa menghargai waktu yang sudah dicurahkan anggota lain yang sibuk di rapat sebelumnya. Mendadak dia lupa bagaimana rasanya saat final prepro ada klien yang sebelumnya tidak ikut meeting memberi komentar yang sudah pernah dibahas di meeting sebelumnya.

Hal lain yang tidak kalah menggelikan timbul mengenai debat bentuk Presidium dengan 5 anggota vs. 1 Ketua. Selain dari jabatan ketua yang terdengar bergengsi, tidak ada argumen positif lain yang mendukung wacana ini. Kebanyakan anggota setuju bahwa sebagai sesama orang sibuk, membagi tanggung jawab agar tugas tidak terbengkalai adalah lebih baik dan karenanya 5 anggota Presidium bisa bekerja bahu membahu. Apa mungkin ada anggota yang tidak sibuk mengurus PH-nya, dan ingin jadi Ketua mengurus PH-PH lain?

Adalah penting untuk diingat bahwa asosiasi ini dibentuk untuk kepentingan bersama. Sempat muncul ketakutan bahwa asosiasi ini hanya akan menguntungkan PH besar, namun harus disadari bahwa sebenarnya keuntungan paling besar akan diraih oleh PH kecil. Dengan dukungan PH besar yang mengatas namakan asosiasi PH, kepentingan PH kecil menjadi lebih terlindungi. Bargaining power menjadi milik bersama. Apalagi tim Presidium terpilih mewakili berbagai ukuran PH, sehingga semua pihak punya kesempatan bersuara.

Hal yang patut dicatat adalah minimnya perdebatan mengenai Kode Etik. Sebagian besar draft Kode Etik bisa diterima oleh semua pihak, yang secara tidak langsung mengatakan bahwa semua anggota punya nilai-nilai kepatutan yang kurang lebih sama. Kode Etik ini cukup komprehensif dalam mengatur dan memberikan rekomendasi. Meskipun ada usulan untuk lebih tegas, sebagian besar anggota merasa bahwa asosiasi ini masih butuh waktu. Bagaimanapun IPFI masih bayi.

Sebuah organisasi pasti menggambarkan habitatnya. Keributan yang timbul tentang PH besar/kecil di tampuk kekuasaan di awal mirip seperti negara kita sekarang ini. Begitu mudahnya kita merasa "dijajah" atau "dizalimi" saat ada orang/badan yang lebih sukses daripada kita. Lebih mudah untuk menyalahkan ketidak adilan sistem daripada berusaha lebih keras dan membuktikan diri. Mungkin ini akibat penjajahan sistematis jaman Belanda sampai era Orde Baru.

Yang penting akhirnya, IPFI telah lahir dan memiliki arah serta rencana kerja yang jelas. Semoga proses ini bisa jadi pembelajaran bagi kita semua menuju demokrasi sesungguhnya. Semoga tim Presidium bisa memberikan kerja nyata untuk kepentingan bersama; demi membuktikan bahwa mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan masih bisa dicapai.

Semoga.

Art Director Idaman

Seperti penggunaan bahasa Indonesia yang sering kali kurang baik dan benar, fungsi art director juga sering kali kurang baik dan benar. Daya tarik finansial dan emosional untuk terlibat dalam tim produksi iklan terkadang menghasilkan pekerja film yang asal jadi dan tidak berpengalaman. Karena kurangnya sumber daya manusia, dan sempitnya pengertian pihak-pihak yang terlibat dalam produksi mengakibatkan sebuah jabatan dalam tim produksi disepelekan.

Posisi art director, atau apapun juga, dianggap enteng; pekerjaan seorang art director 'disederhanakan' karena satu dan lain hal. Tanpa sadar, sebuah produksi menjadi korban inkompetensi anggota timnya.

Art Department merupakan bagian penting dari produksi. Sebuah tim art yang solid, dikomandani seorang art director, dilengkapi dengan prop masters handal bisa memberi nilai lebih (...atau kurang) pada sebuah produksi. Fungsi apakah yang seharusnya dijalankan seorang art director yang baik?
  • Seorang art director produksi harus menguasai seluk beluk produksi. Ia haruslah seorang kreatif yang bisa berinteraksi dengan director, bukan hanya mengenai mood/tone lewat referensi indah. Memahami proses produksi berarti mengerti bahwa warna yang digunakan sebuah gambar akan melalui proses colour grading di post production. Seorang art director yang kurang pengalaman (atau kurang komunikasi dengan directornya) bisa menghabiskan berjam-jam demi mendapatkan saturasi warna yang 'pas'; sesuatu yang bisa dicapai dengan mudah pada proses colour grading. Bukan berarti warna boleh asal jadi, tapi pemahaman ini bisa menjadi penyelamat saat krisis terjadi.
  • Pemahaman akan camera angle dan lensa juga diperlukan untuk menentukan besarnya set yang harus dibangun, atau ruangan yang harus didandani. Kita sering lupa kalau "mata" yang penting dalam pengambilan gambar adalah mata kamera, dan bukan mata kita. Yang menjadi perhatian haruslah gambar yang terlihat di kamera. Kalau kamera akan track, tentunya harus dilihat point awal dan akhir pergerakan kamera, dan pada titik mana set itu akan kelihatan.
  • Props bukan sekadar barang-barang untuk mengisi set, membuatnya kelihatan indah seperti layaknya dekor ruang pamer. Seorang art director yang baik bisa menjaga keseimbangan antara fungsi, estetika dan anggaran. Kesalahan yang umum terjadi bila sebuah prop harus fungsional, misalnya sebuah kereta raksasa yang harus didorong 10 orang. Pada saat seperti ini, seorag art director harus bisa menjadi insinyur (...atau bertanya pada seorang insinyur) supaya prop itu tidak hanya tampak indah, tapi bisa menjalankan fungsinya dengan baik.
  • Fungsi insinyur seni akan sangat terasa saat produksi iklan shampoo, atau apapun yang berhubungan dengan produk rig. Mulai dari bagaimana sebuah produk diposisikan untuk memperoleh sudut tercantik, sampai membuat air terjun maha dashyat yang menyiram botol shampoo tanpa membuatnya terjungkal.
Kalau sudah begini, pengetahuan fisika dasar yang akan bicara, ditambah dengan akal sehat dan eksperimen (sebelum shooting) bersama dengan DOP dan director. DOP harus tahu disain dan teknis rig yang akan digunakan karena ia tahu lensa yang akan digunakan, kemungkinan posisi lampu, cutter dan lain-lain. Akal sehat yang sederhana mesti digunakan. Belum lagi kalau rig yang mesti digunakan membutuhkan kaca. Refleksinya! Aduh! Yang pusing bukan hanya art department, tapi juga DOP dan lighting.

Rig yang terkenal bikin pusing adalah rig untuk air. Pengalaman shooting di Amerika atau di Australia selalu mengesankan, karena semua rig yang digunakan telah melalui tes dan merupakan perwujudan engineering yang sesungguhnya.

Karena itu penting untuk dimengerti bahwa seorang Art Director/Production Designer bukan hanya punya selera yang bagus, dan pengetahuan warna yang di atas rata-rata. Ia juga harus punya akal sehat dan logika dalam bekerja dan mendisain. Kalau semua art director punya kemampuan yang komplet, semua art director akan jadi idaman. Mungkin APFII bisa menjembatani pelatihan dan meningkatkan kualitas art department kita. Susah memang, karena meski sederhana, akal sehat itu termasuk benda langka.

Monday, August 13, 2007

1-800-788743

DICARI:
  • Production House kaya raya yang sanggup memproduksi sebuah film iklan 30 second tanpa pembayaran 50% pertama sebelum klien membayar agency.
  • Production House yang menanggung fee agency producer dalam production budget.
  • Production House yang bersedia menawarkan harga terendah untuk sebuah film iklan 30 second.
  • Production House yang memberikan per diem bagi setiap anggota tim Agency termasuk yang tidak ikut berangkat ke luar negeri.
  • Production House yang menyediakan wardrobe bermerek sebagai alternative wardrobe talent untuk kemudian diminta oleh agency/client.
Bagi yang berminat silakan hubungi Mr. Sha Me Less di 1-800-STUPID


Sunday, August 12, 2007

Asosiasi PH

Setelah sekian lama menanti, akhirnya Indonesia punya juga asosiasi- asosiasi-an di dunia produksi film iklan. Saya bilang asosiasi-asosiasi-an karena bentuk kerja nyata asosiasi ini masih belum kelihatan. Ada Asosiasi Pekerja Film Iklan Indonesia, dan belakangan ada Asosiasi PH.

Kenapa sih sebenarnya kita perlu sebuah organisasi? Pada prinsipnya sebuah organisasi bisa muncul karena ada persamaan kepentingan, dan kesadaran bahwa banyak hal yang bisa didapat dengan lebih mudah dengan berjuang bersama. Memang bukan hal baru. "There is power in numbers." Lalu ada juga, "Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh".

Persamaan kepentingan apa yang menyatukan berbagai PH? Dan keuntungan apa yang didapat dengan bersatu? Bukankah selama ini isu yang beredar adalah, yang penting job itu ke gue? Nggak papa kali ini rugi, yang penting job masuk dulu? Nggak papa diskon habis-habisan yang penting kerja? Tanpa memikirkan bahwa hal itu "merusak harga pasar" dan sebenarnya membunuh kesejahteraan diri sendiri dalam jangka panjang.

Ada beberapa hal yang muncul di permukaan:
1. Bersatu dan bekerja sama memberi pengertian pada Agency yang suka seenaknya tidak mau membayar 50% sebelum produksi berlangsung. Kecuali ada PH yang punya pohon duit tumbuh di halaman belakang, rasanya semua setuju bahwa pembayaran 50% pertama akan memperlancar proses produksi sekaligus menunjukkan itikad baik semua pihak yang terlibat.

2. Bersatu dan bekerja sama meluruskan kebingungan pemerintah dalam soal regulasi dan iklim investasi. Sebagai kelompok yang memiliki persamaan kepentingan, asosiasi PH punya kekuatan lobi untuk mendorong keluarnya regulasi yang menguntungkan PH.

Sampai keluarnya peraturan MenKomInfo yang membingungkan semua pihak beberapa bulan yang lalu, bisnis PH di Indonesia bisa dibilang lepas dari campur tangan pemerintah. Tapi mendadak pemerintah merasa punya kepentingan untuk "melindungi tenaga kerja Indonesia" dan "merangsang pertumbuhan industri film lokal" dengan mengeluarkan peraturan yang rancu (karena menterinya kena reshuffle kabinet beberapa hari kemudian, meninggalkan warisan peraturan yang tidak jelas ujung pangkalnya).

Meski mirip dengan MIM - Made In Malaysia; regulasi proteksi pemerintah Malaysia, MII - Made In Indonesia ini tetap tidak secanggih Malaysia punya. Di Indonesia tidak ada badan khusus yang mengatur implementasi MII. Tidak jelas siapa yang berhak menjatuhkan sangsi apabila pelanggaran terjadi, tidak jelas juga siapa yang harus dilapori kalau ingin jadi PH yang baik. Tidak jelas.

Di pihak lain, ada perkembangan baru dari MenBudPar yang katanya ingin membuka keran sebesar besarnya untuk masuknya produksi asing ke Indonesia atas nama pertukaran budaya (dan tentu saja masuknya devisa) dan semangat kooperasi ASEAN.Sangat membingungkan, apalagi mengingat perdagangan bebas ASEAN 2008 sudah semakin dekat. Saat pasar dibuka lebar, Indonesia harus siap kalau tidak mau kalah.

Karena sekarang pemerintah sudah menaruh perhatian terhadap industri film iklan, mungkin sudah waktunya kita menjalin hubungan yang lebih akrab dengan pemerintah. Indonesia punya banyak potensi yang bisa digali lebih jauh untuk produksi film iklan. Keindahan alam Indonesia dan murahnya tenaga kerja bisa menjadi nilai lebih yang bisa dijual. Pasar terbuka mendorong iklim kompetisi dalam negri yang akhirnya akan meningkatkan kualitas dan daya jual.

Sekarang tinggal kita lihat, apakah IPFI hanya sebuah asosiasi-asosiasi-an atau sebuah organisasi dengan misi dan visi untuk membuat perubahan. Kita tidak butuh pernyataan. Kita ingin melihat kenyataan. Semoga.

Sunday, August 5, 2007

Belajar Mancing

Lagi-lagi masalah budget. Namanya juga produser, urusan sehari-hari tidak lebih dan tidak kurang selalu budget. Lagi ngobrol santai pun, biasanya curhat masalah yang sama. Sebisa mungkin teman ngobrol dan minum kopinya digilir supaya nggak dimusuhi, karena dianggap membosankan lantaran selalu mendendangkan lagu yang sama.

Bukan cerita baru kalau khayalan agency board tidak sesuai dengan budget klien yang tersedia. "Big ideas, small money." Bukan berarti ide yang bagus tidak bisa dieksekusi dengan anggaran terbatas... Ide yang bagus akan tetap jadi bagus apabila diperlakukan dengan sepantasnya. Tapi tidak berarti story board action-hero dari helikopter, melompati gedung, gunung dan menyeberangi lautan lalu pacaran di malam hari bisa dilaksanakan sama baiknya dengan budget sama dengan story board anak kecil makan permen di ruang tamu. Kalau ada produser PH yang bilang bisa, mungkin sebaiknya anda pikir-pikir lagi menggunakan/bekerja di PH tersebut.

Beberapa saat yang lalu ada sebuah board "berkeliaran" di pasaran untuk layanan super- ekslusif sebuah bank terkemuka. Strategi komunikasi yang satu ini ditujukan untuk menggaet nasabah kakap dengan uang tanpa seri, kaya raya dan bonafide. Tapi biaya yang klien "rela" keluarkan hanya setara (... bagus kalau setara, lebih kecil malah) dengan iklan motor seharga kurang dari 10 juta rupiah. Rupanya para praktisi terkemuka para klien tidak pernah belajar memancing. Penggunaan umpan yang tepat jadi urusan belakangan.

Biang keladi "salah umpan" ini adalah para perusahaan telekomunikasi dan makanan siap saji yang punya produk berbeda setiap bulannya. Yang penting bagi mereka, informasi tentang promo belanja terkini bisa sampai pada penonton sehingga uang masuk ke kantong mereka lebih cepat. Toh, iklannya hanya akan tayang 2 minggu...ngapain menghabiskan uang banyak-banyak untuk produksi? Akhirnya sistem produksi seperti ini diberlakukan ke seluruh produksi iklan. Sama rata, sama rasa. Mengingatkan pada iklan mobil bekas jaman dulu di US atau Australia; gambar puluhan mobil berbagai warna di latar belakang dan wajah si salesman extreme close -up sambil ngoceh nggak karuan.

Nampaknya sekarang punya budget produksi yang sesuai dengan hasil yang didapatkan, yang sesuai dengan nilai produk yang dijajakan, sudah tidak model lagi. Yang penting adalah mencapai hasil sebesar- besarnya dengan ongkos yang sekecil-kecilnya. Bagian produksi semua lini PH ditawar habis-habisan. "Bisa deh... kan produksi kemarin juga segini." Padahal produksi yang kemarin hanya sekadar shooting produk di studio, dan yang ini shooting di Bromo.

Akhirnya kita hanya bisa melantur kiri kanan, "Lha wong cuma umpan cacing tanah, kok minta ikan raksasa!"

Thursday, August 2, 2007

Mau Irit Malah...

Menjadi produser film iklan di jaman sekarang ini ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Saat semakin banyak orang berkeinginan menjadi produser karena sebagai sebuah jabatan ia terdengar "keren" dan "berkuasa", tanpa tahu bahwa profesi ini punya tantangannya tersendiri.

Seorang produser haruslah juga manajer kompeten, sekaligus seorang "juggler" sebuah sirkus bernama produksi. Belakangan ini seorang produser tidak hanya dituntut untuk menjadi manajer atau juggler, tapi juga tukang sulap. Semua mata menatap "sang manusia super" yang namanya Produser PH. Lucunya, bukan hanya tim produksi PH yang beranggapan begini, tapi klien dan agensi juga. Semua masalah harus bisa diselesaikan oleh Produser PH. Bagaimana caranya kalau klien baru approve konsep hari ini, butuh iklan on-air 2 minggu mendatang, ingin post di luar negeri bersama 4 orang tim marketing, kerja dengan sutradara bule, pakai talent mukanya pan-Asian dengan budget 300 juta including PPh? Oh, jangan lupa ada "titipan" 20 juta ya...

Sebagai yang punya duit, klien sering punya anggaran dan harapan yang tidak sejalan. Sudah begitu seingkali menunda pengambilan keputusan yang mengakibatkan jadwal produksi morat marit. Ujung-ujungnya duit lagi. Karena terbatasnya waktu, banyak kompromi harus dilaksanakan dan mau tidak mau akhirnya kualitas gambar menjadi korban. Daya tarik sebuah film 30 detik menjadi berkurang karena tidak cukup waktu dihabiskan untuk membuat film itu menarik perhatian pemirsa sehingga akhirnya iklan itu terlupakan begitu saja. Tanggung jawab sepenuhnya dilimpahkan kepada sutradara dan PH. Klien dan agensi sering lupa bahwa proses ini merupakan sebuah kerja tim, dan waktu yang terbuang karena klien tidak bisa mengambil keputusan bisa membuat iklan yang mestinya indah dan punya daya jual tinggi menjadi biasa-biasa saja dan terlupakan setelah tayang seminggu.

Masih berhubungan dengan duit, belakangan ini sering ditemui klien yang "menawar" biaya produksi seakan produksi ratusan juta rupiah itu bisa ditawar seperti kacang goreng. Agak menyedihkan sebenarnya saat klien (yang perusahaannya bernilai "M-M-an") melihat biaya produksi dan mempertanyakan apakah katering 50,000/orang tidak kemahalan; atau apakah shooting dengan 50 kru tidak kebanyakan.

Mungkin yang perlu dikaji ulang adalah paradigma staf marketing, brand image and departemen apalah itu dari para klien. Kampanye marketing pada dasarnya memang MAHAL. Nilai dan makna proses tersebut bukan sekadar biaya produksi sebuah iklan 30 detik, belanja media spot, biaya pemotretan iklan cetak versus. peningkatan hasil penjualan. Mengapa NIKE sebagai sebuah merek bisa sukses seperti sekarang ini? Mengapa mereka menghabiskan jutaan dolar hanya untuk sebuah iklan? Karena mereka menyadari pentingnya komunikasi kepada konsumen dan mereka ingin berkomunikasi dengan efektif dalam jangka waktu panjang, bukan seminggu atau sebulan. Dan sebuah pekerjaan diberikan kepada mereka (PH, Agensi) yang bisa melaksanakannya dengan baik, bukan karena mereka bisa menghemat biaya marketing.

Seringkali dalam rangka efisiensi biaya, mereka lupa akan rencana dan tujuan kampanye itu sendiri. Agensi mestinya juga bisa terlibat dalam proses ini, dengan selalu kembali pada brief awal sebuah kampanye. Tanpa sadar penghematan beberapa puluh juta berakibat gagalnya sebuah kampanye, yang tentu saja bernilai ratusan kali lipat.

Mudah-mudahan ini tidak dilihat sebagai keluhan seorang produser yang sekadar ingin tambah biaya produksi. Tapi lebih pada keinginan agar setiap proses (apalagi yang berhubungan dengan biaya) mendapat pemikiran matang dari semua pihak yang terlibat. Jangan kebanggaan menghemat biaya sesaat, malah menyia-nyiakan "The Big Plan".