Wednesday, September 12, 2007

Salah Siapa Hayooo?

Salah siapa kalau kita shooting sampai pagi?? Jawaban yang sering terdengar biasanya, "Iya tuh kliennya gila... masa mendadak warna background set minta ganti. Akhirnya buang waktu 4 jam cuma nunggu set kering." Atau yang ini, "Namanya juga selebritis. Udah dateng telat 2 jam, make upnya lama banget lagi." Atau anda lebih sering ketemu yang model ini, "Namanya juga sutradara baru. Biasa masih suka main-main, nggak tahu maunya apa. Kita sih ikut aja, tapi lama-lama capek juga ya." Kalau yang ini mungkin agak lebih jarang terdengar, "Produsernya bego. Kerjaan kayak gini nge-quote cuma sehari, mana mungkin?"

Semua alasan di atas ada benarnya. Berbagai skenario bisa muncul saat shooting berlangsung. Karena kru Indonesia tidak bekerja berdasarkan aturan 8 atau 10 jam sehari, produser sering tergoda untuk meng-quote 1 hari panjang; yang tentunya tidak memberikan hasil maksimal karena semua orang sudah lelah dan tida bisa lagi memberikan yang terbaik. Produser yang seharusnya memberikan yang terbaik pada klien akhirnya hanya bisa memberikan hasil pas-pasan. Padahal seandainya budget untuk shooting 1 hari panjang sepadan dengan harga 2 hari shooting, bukankah 2 hari shooting bisa lebih efektif?

Problema yang biasa dihadapi produser adalah
1. Kru Thailand juga terbiasa shooting dengan hari panjang
2. Shooting sesuai aturan 10 jam di Singapura, Malaysia, Australia ataupun di USA lebih efektif daripada 16 jam di Thailand.

Kru Thailand terbiasa dengan jam kerja yang panjang karena kebiasaan sutradara dan DOP yang sangat detail dalam setting. Semua pihak yang terlihat dalam produksi di Thailand terbiasa shooting lewat dari tengah malam. Jadi, kalau di Indonesia dibutuhkan 2 hari untuk shooting produk yang sama, Thailand bisa memberikan 1 hari dengan budget regional yang tentunya tidak bisa disaingi.

Dilihat dari segi manapun, sangat jelas bahwa sumber daya manusia kita perlu ditingkatkan. Mulai dari kru yang harus lebih banyak bekerja daripada nongkrong tunggu dipanggil, sampai kepada sutradara muda yang suka main-main. Para sutradara muda yang sibuk membangun showreel, senang berksperimen. Pernah pada sebuah produksi ada 3 shotlist - untuk klien, agensi dan untuk sutradara. Keadaan ini bisa berubah, karena mulai ada klien yang hanya minta melihat versi yang "on-air" dalam reel seorang sutradara.

Agensi juga perlu menyadari bahwa untuk bisa menjadi sutradara dibutuhkan jam terbang yang tinggi di berbagai bidang produksi, dan bukan sekadar hasrat kreatif belaka. Tapi karena kelangkaan sumber daya manusia di Indonesia, seseorang yang punya hubungan baik dengan staf kreatif bisa dengan mudahnya mendapat kesempatan tanpa pengalaman matang.

Jadi?? Sekolah di produksi demi produksi, belajar lagi, belajar terus!!

No comments: